Kota Batavia dan Kawasan Sekitarnya

Pelabuhan Sunda Kelapa yang kecil merupakan satu di antara enam pelabuhan kecil yang menjadi tempat pengiriman barang-barang dari luar negeri ke kawasan hulu sungai ke kerajaan lama Sunda di dataran tinggi Jawa Barat. Demi menghentikan pencaplokan kawasan oleh bangsa Portugis, pemimpin Muslim di Demak, Fatahillah menaklukkan pelabuhan ini di tahun 1527 dan memberinya nama Jayakarta. Sejak tahun 1596, orang-orang Belanda sudah biasa berkunjung ke pelabuhan Banten yang terletak di dekatnya, dan di tahun 1610 mereka membangun sebuah loji dan gudang di Jayakarta. Sesudah bertengkar dengan penguasa setempat terkait pembangunan sebuah kubu pertahanan dari batu, dan untuk memotong kemajuan pesaing Inggris, maka Gubernur Jenderal Jan Pietersz. Coen memutuskan untuk menaklukkan pelabuhan tersebut di tahun 1619 dan memberinya nama Batavia, demi menghormati suku Jerman (Belanda) yang bebas dan merdeka, yaitu Batavi, yang menduduki delta sungai Rhine di zaman Romawi.

Sesudah 1619, dalam sumber-sumber Belanda masih sering dijumpai nama ‘Jaccatra’. Koleksi-koleksi arsip dalam jumlah besar tetang Batavia Tua masih dilestarikan. Arsip Pengurus Balai Yatim Piatu (yang juga termasuk arsip balai harta peninggalan), arsip para notaris dan Dewan Aldermen (pengadilankota) semuanya berasal dari awal abad ketujuhbelas. Kendati secara bertahap Batavia berkembang menjadi kota kolonial paling penting dan paling besar di Asia Tenggara, di akhir abad ketujuhbelas (Goa Portugis dan Manila Spanyol merupakan dua kota kolonial besar lainnya), kegiatan penelitian tentang sejarah kota ini dengan memanfaatkan sumber-sumber arsip primer terabaikan. Salah satu sebabnya adalah karena sesudah kemerdekaanIndonesiatahun 1945, tidak ada banyak perhatian pada topik yang jelas-jelas berhubungan dengan masa kolonial.

Membaca sekilas arsip kota Batavia, kita dapatkan informasi terkait sejumlah topik yang dikenal banyak orang seperti berfungsinya dewan-dewan kota, publikasi peraturan-peraturan (Plakat) dan sejarah dari beberapa bangunan yang masih ada seperti Balai Kota atau Stadhuis (1710) serta gereja ‘Portugis’ (1696). Akan tetapi, tantangan utama yang dihadapi situs di internet ini adalah bahwa sebenarnya masih dapat dilakukan reka-ulang kehidupan sosial sehari-hari, kemunculan dan keterpurukan usaha kecil serta kehidupan masyarakat yang multi etnis dan multi budaya. Sejauh ini, sejarah Batavia selalu dihubungkan dengan kehidupan sosial kelompok elit Kompeni. Jarang sekali dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari dari penduduk seringkali meraih keberhaslilan dalam kehidupan mereka di dalam dan di sekitar kota yang lebih dari sembilan puluh persen penduduknya adalah orang-orang Asia.

Khususnya ‘Ommelanden’ atau kawasan yang ketika itu berada di luar tembok kota; kawasan itu sarat informasi menarik untuk dilakukan studi. Banyak nama yang dikenal sekarang seperti Kuningan, Kalibata, Lebak Bulus, Pondok Gede (Cililitan) sudah muncul dalam buku-buku abad ketujuhbelas disimpan Dewan Distrik yang mengawasi pemeliharaan prasarana dan pencatatan lahan properti dan perkebunan.

Kehidupan urban, pengelolaan air, penanaman padi dan tebu, kepemilikan lahan, pekerja paksa dan budak serta perkawinan antar etnis merupakan topik-topik yang menarik dalam menulis ulang sejarah Batavia. Belum lagi tentang asal muasal orang Betawi yang terdiri dari berbagai kelompok etnisitas. Koleksi Harta Karun memberikan prioritas pada seleksi dokumen-dokumen sejenis itu, yang mengungkap tentang penduduk Batavia yang Asia dan Indo (berdarah campuran), juga tentang keberadaan mereka serta kehidupan sosial mereka. Dengan demikian maka kita akan dapat mengembalikan aspek Asia dari kota ini yang selama ini terabaikan.

IV.1 Dewan Kota, Ketenteraman Umum dan Agama
Memerintah dan mengelola sebuah kota berpenduduk multi etnis dan multi bahasa dan dihuni sekitar 100.000 penduduk di akhir abad ketujuhbelas, benar-benar merupakan tantangan besar. Sejumlah dewan kota didirikan yang bertanggung jawab menjaga ketertiban dan keamanan, mengurus administrasi kepemilikan, mengurus perkawinan dan merawat para yatim piatu serta kaum miskin. Pengadilan bagi Golongan Swasta (1617-1811) merupakan lembaga publik terpenting dan berkantor di balai kota yang hingga kini masih berdiri di tengah kota lama Jakarta.
(0 articles)
selanjutnya baca...
IV.2 Hukum dan Peraturan
Pemerintah Agung, Dewan Kehakiman serta Pengadilan bagi Golongan Swasta bertanggung jawab membuat dan menyebar-luaskan plakat, atau peraturan umum yang dibuat sebagai poster. Plakat adalah istilah kolektif untuk pengumuman bagi masyarakat luas, peraturan, pengambilan sumpah, statuta, instruksi, aturan, pemberitahuan, resolusi dan hukum. Plakat juga dipakai untuk menunjuk tempat-tempat umum di mana diletakkan dokumen-dokumen yang berguna bagi kepentingan bersama. Plakat seringkali diterjemahkan dalam bahasa Jawa, Cina dan Melayu serta ditempelkan di pintu-pintu gedung umum atau di papan-papan khusus yang ditempatkan di sudut-sudut jalan yang banyak dilalui orang.
(0 articles)
selanjutnya baca...
IV.3 Kejahatan, Pengadilan dan Hukuman
Kancah kejahatan di Batavia serta hukuman yang ketika itu diterapkan terhadap sejumlah orang mungkin dirasakan terlalu mengerikan oleh pengamat masa kini. Apabila kita membaca catatan kriminal tertua yang dibuat Dewan Tetua, maka kita mungkin berasumsi bahwa di Batavia di mana-mana terjadi pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, peracunan, pencurian, penyerangan serta pertempuran antar kesatuan serdadu dan tawuran di jalan. Hukuman mati harus mendapat persetujuan Pemerintah Agung dan kemudian setiap bulan ditulis dalam Catatan Harian Batavia.
(0 articles)
selanjutnya baca...
IV.4 Penduduk, Kehidupan Sosial dan Upacara
Sebagai sebuah kota kosmopolitan yang berpenduduk multi-etnis dan multi-agama, Batavia merupakan sebuah ajang di mana berlangsung eksperimen dunia terbesar di kurun waktu awal modern. Historiografi modern cenderung memberi nama tertentu kepada beberapa pendekatan terhadap budaya populer yang terkait dengan berbagai kelompok pendatang seperti ‘small history’ , ‘sejarah kaum terpinggirkan’ (subaltern history) atau ‘sejarah diaspora’ para pendatang warga India. Budaya populer Batavia dapat direka-ulang dan dianalisis berdasarkan arsip yang menunjukkan adanya perbandingan dengan budaya populer yang muncul di kota-kota Eropa pada kurun waktu awal modern.
(0 articles)
selanjutnya baca...
IV.5 Ekonomi, Perburuhan dan Perbudakan
Ekonomi Batavia secara kasar dapat dibagi dalam dua kategori: kegiatan bisnis perdagangan, kerajinan tangan, pasar dan pertokoan di dalam kota, serta pertanian dan industri pedesaan di kawasan luar kota (Ommelanden). Kegiatan perdagangan VOC yang semarak mendukung sejumlah sektor kunci pada ekonomi kota termasuk pengangkutan barang di pelabuhan, pengelolaan pergudangan, logistik, perbaikan dan pemeliharaan kapal-kapal di galangan kapal milik angkatan laut yang terletak di Pulau Onrust. Beberapa kontrak yang dibuat antara pemilik kapal swasta dan para investor bercerita tentang jangkauan yang boleh diarungi dunia usaha maritim swasta.
(0 articles)
selanjutnya baca...
IV.6 Bangunan, Perkebunan, Rumah dan Interior
Rumah-rumah Batavia mencerminkan campuran gaya arsitektur Belanda dan Portugis abad ketujuhbelas dan kedelapanbelas serta pengaruh Asia. Beberapa rumah jelas mirip dengan rumah di Belanda, tetapi diberi cat aneka warna yang mengingatkan orang pada kawasan Iberia atau Cina. Khusus orang Cina, yang sudah terbiasa membangun dengan batu bata dan adukan semen serta menggunakan pula plesteran, mereka juga memengaruhi panorama jalan di kota dengan rumah-rumah mereka yang bergaya khas membingkai tepi jalan. Hiasan di bagian atas dinding samping serta atap yang berpenopang serta beranda kecil di depan merupakan ciri khas rumah mereka.
(0 articles)
selanjutnya baca...