Surat kepada penjabat Phrakhlang Phya Phiphat Kosa di Siam kepada Pemerintah Agung di Batavia, 13 Januari 1769, dan jawaban dari Batavia 29 Mei 1769

Gajah Perang Thailand

Kata Pengantar oleh Dhiravat na Pombejra (Former Associate Professor Chulalongkorn University, Bangkok)

Download the full article in PDF

Surat Siam tersebut ditulis oleh Phya Phiphat Kosa, mungkin penjabat menteri phrakhlang pada awal pemerintahan Raja Taksin ini. Gelar phiphat kosa biasanya menunjukkan wakil Phrakhlang. Surat itu merupakan upaya langsung untuk mencoba menarik VOC kembali ke Siam dan membuka kembali kantor perwakilannya di kerajaan itu. Menteri Siam menceritakan tentang jatuhnya Ayutthaya pada tahun 1767, dan menyatakan bahwa kerajaan – di bawah “Phiatak” (Taksin) – telah dikembalikan ke keadaan berkembangnya seperti semula.

Ketika Raja Alaungpaya Burma menyerang Siam pada tahun 1760 dan menghancurkan beberapa pinggiran kota Ayutthaya, loji perwakilan VOC sebagian rusak dan dijarah, dan residen Nicolaas Bang terluka parah. [1] Kejadian itu merupakan pengalaman yang traumatis bagi Belanda yang tidak bisa dilupakan begitu saja dengan cepat, terutama ketika, hampir lima tahun kemudian, raja Burma yang baru Hsinbyushin mengirimkan lebih banyak tentara untuk menyerang Siam.

Pada Desember 1765, VOC menutup factorij (loji)di Ayutthaya dan meninggalkan Siam. Surat terakhir yang ditulis oleh residen VOC di Siam, Abraham Werndlij pada tanggal 18 November 1765, bernada penuh rasa takut, yang disebabkan oleh kekurangan kepercayaan pada kemampuan kerajaan Siam untuk membendung serangan Burma. [2] Werndlij dan rekan-rekannya terbukti benar, karena Ayutthaya jatuh ke tangan Burma pada April 1767: kota itu ditaklukkan, istana-istana dan kuil-kuilnya dijarah dan ribuan penduduknya dibawa ke Burma.

Dua poin penting terlihat pada isi surat Phya Phiphat Kosa ini: desakannya bahwa “Phiatak” telah diperintahkan oleh raja terakhir Ayutthaya untuk meninggalkan kota dan pergi ke Chanthabun untuk mendapatkan bantuan lebih banyak bagi pertahanan kota kerajaan; dengan kata lain, dia tidak melarikan diri atau meninggalkan raja. Poin kedua yang penting adalah bahwa orang-orang yang melarikan diri akibat perang kembali dari hutan dan “memilih” Taksin sebagai raja mereka. Surat itu dengan hati-hati menekankan legitimasi Raja Taksin sebagai penguasa Siam: meskipun ia tidak memiliki hak takhta yang berasal dari turun-temurun, ia berhak untuk memerintah atas penerimaan rakyat terhadap kekuasaannya pada saat tidak ada orang lain yang bisa ditunjuk menjadi raja. Poin terakhir tersebut, tidak diragukan lagi menyinggung tentang tidak adanya atau matinya semua anggota keluarga kerajaan yang lama.

Dalam sebagian besar jalan pemerintahannya, Raja Taksin dihantui oleh masalah legitimasinya untuk memerintah Siam, terutama dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan resmi dari Cina. Memang, kerajaan Qing hanya memberikan pengakuan resmi untuk Taksin sebagai raja Siam di akhir pemerintahannya, pada tahun 1781. Dalam koleksinya, ANRI juga memiliki (sebagai bagian dari Dagregister Kastel Batavia) surat tertulis kepada Hoge Regering dari Chao Si Sang dan Chao Chui [3], dua pangeran kerajaan Siam yang selamat dari invasi Burma dan mencari perlindungan di Kamboja, suatu bukti lebih lanjut bahwa hak Taksin untuk menjadi raja Siam memang diperebutkan oleh anggota dinasti lama, yaitu dari Pangeran Thepphiphit (yang telah dikalahkan dan dieksekusi oleh Raja Taksin di masa awal, segera setelah jatuhnya Ayutthaya) kepada kedua pangeran tersebut, yang ambisi mereka juga menjadi sia-sia.

Pedagang Cina bertindak sebagai perantara dalam kontak antara Siam dan VOC. Kapal jung “Tjien Heeng” membawa surat dan hadiah dari kerajaan Thonburi ke Batavia. Dalam pertukaran surat di kemudian hari antara kedua pihak, ada lebih banyak nama nakhoda Cina yang disebutkan [4]. Unsur Cina baik dalam urusan ekonomi maupun kerajaan selama pemerintahan Raja Taksin merupakan counterpoint dari upaya Raja yang cermat untuk menghidupkan kembali keadaan negeri Siam seperti dahulu, yang masih tetap disebut “Thawarawadi Si Ayutthaya”, di kota kerajaannya yang baru Thonburi, dengan membangun kembali struktur administrasi, agama dan budaya.

Tentu saja Gubernur-Jenderal dan Anggota Dewan membalas surat Phiphat Kosa dengan sopan, dan rapi menghindari kembalinya VOC ke Siam dengan menyatakan bahwa izin untuk melakukannya harus didapatkan langsung dari Pangeran Oranye. Tapi perdagangan dengan Siam tidak sama sekali dikesampingkan. Memang perdagangan berlangsung terus di antara Thonburi/Bangkok dan Batavia, bahkan juga setelah pembubaran VOC. Dari permintaan di masa awal untuk senapan sundut untuk melawan berbagai musuh-musuhnya, kerajaan Siam mulai meminta barang-barang lain yang dikirim dari Batavia, seperti misalnya berlian [5]. Kayu secang Siam biasanya merupakan barang dagangan yang dibeli dalam pertukaran itu oleh Belanda. Namun demikian, kelanjutan perdagangan Belanda-Siam pasca-1767, meskipun perdagangan itu dilakukan melalui perantara-perantara Cina, merupakan dasar bagi kebangkitan hubungan diplomatik formal antara kerajaan Bangkok dan Belanda pada pertengahan abad kesembilan belas.

 

-----

[1] Lihat Bhawan Ruangsilp, Dutch East India Company Merchants at the Court of Ayutthaya: Dutch Perceptions of the Thai Kingdom, c.1604-1765. Leiden/Boston: Brill, 2007, hlm. 206-208.

[2] Dhiravat na Pombejra, “Fleeing the ‘Enemy’: The Final Dutch Letter from Ayutthaya, November 1765” in Winai Pongsripian (ed.). Chatusansaniyachan. Bangkok: The Historical Commission, Ministry of Culture, 2004, hlm. 327-345; Bhawan Ruangsilp, Dutch East India Company Merchants, hlm. 212-218.

[3] ANRI, VOC, Arsip Pemerintahan Tinggi, Catatan Harian Kastel Batavia, 3574, fs. 305-309. Pangeran Thepphiphit adalah putra Raja Borommakot dan dengan demikian saudara tiri Raja Ekathat, raja terakhir Ayutthaya; Pangeran Si Sang adalah cucu Borommakot; sementara Pangeran Chui adalah cucu Raja Thai Sa. Belanda sebelumnya telah dikomploti untuk menempatkan Pangeran Thepphiphit di atas takhta Kandy, tidak berhasil.

[4] Liat contohnya surat-surat dari Phrakhiang ke Pemerintahan Agung tahun 1771 dan 1771, VOC 3338 (fol. 255-261) dan VOC 3339 (Fol. 714-717 verso)

[5] Leonard Blussé. “Whimsical wishes of Siamese kings: the correspondence of King Taksin and King Rama I of Siam to the High Government of Batavia (1769-1809)”, artikel yang disajikan di konferensi IAHA ke-13, Tokyo 1994.

Dhiravath na Pombejra, “Surat kepada penjabat Phrakhlang Phya Phiphat Kosa di Siam kepada Pemerintah Agung di Batavia, 13 Januari 1769, dan jawaban dari Batavia 29 Mei 1769”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Europa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 28. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2016.