Surat berasal dari Chaophraya Phraklang atas nama Raja Borommakot Maha Dharmaracha II (memerintah 1733-1758) ditujukan kepada Pemerintah Agung di Batavia, (ditermia) 29 Maret 1740, dan jawaban dari Batavia, 28 Agustus 1740

Papaver somniferum L. opium poppy, afim, Kasa Kasa

Kata Pengantar oleh Hendrik E. Niemeijer, Senior Lecturer in Maritime and World History (Diponegoro University, Semarang)

Download the full article in PDF

Opperhoofd (kepala kantor perwakilan) VOC di Ayutthaya, Theodorus Jacobus van der Heuvel (berdinas 1735-1740) dalam sejarah diceritakan sebagai orang yang pada Maret 1737 diundang oleh Raja Borommakot untuk bergabung dengannya melakukan perjalanan ke Phra Phuttabat (di Provinsi Saraburi), untuk ziarah tahunan ke Jejak Kaki Buddha (Buddhapada di Pali). Dengan cara itu raja sedang menunjukkan keunggulan budaya dan agama Siam. Opperhoofd menerima undangan yang sama lagi di tahun berikutnya, namun ia menolak.

Periode 1730-1740 ditandai dengan adanya kecenderungan jelas semakin merosotnya hubungan Siam-Belanda, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Namun, sejarawan sampai saat ini belum membuat analisis yang jelas tentang keluhan dari kedua belah pihak. Khususnya, pengalaman-pengalaman negatif Siam dengan terus-menerus adanya usaha keras Belanda untuk memaksakan monopoli atas produk-produk seperti timah dan gading belum diteliti dengan baik. Korespondensi diplomatik adalah sumber yang paling penting bagi keluhan ini. Korespondensi dari tahun 1740 ini menunjukkan puncak dari tahun pertengkaran politik.

Surat-surat Umum (General Missives) yang dikirimkan Pemerintah Agung di Batavia ke Republik beberapa kali dalam setahun, memperlihatkan kepada kita secara singkat tentang pandangan Belanda. Menurut kebiasaan, surat-surat dari raja-raja dan Phrakhlang dikirimkan bersama-sama dengan surat-surat umum tersebut. Oleh karena itu para direktur VOC bisa mempertimbangkan sendiri pendapat di kerajaan Siam, dan mereka juga bisa mengamati bahwa pos perdagangan di Siam dari tahun ke tahun tidak lagi memberikan keuntungan tetapi hanya kerugian. Dan bahwa keuntungan pada akhirnya adalah yang paling dianggap penting dari semua itu.

Baik para direksi di Belanda maupun para anggota Pemerintah Agung di Batavia memandang kepentingan ekonomi dan politik pos perdagangan di Siam dari perspektif strategis yang lebih luas. Pada tahun 1732 Pemerintah Agung menulis kepada Belanda bahwa staf di Siam melihat sedikit manfaat dalam membubarkan pos perdagangan di sana. Perusahaan Inggris telah melepaskan perdagangan ke Siam untuk kepentingan swasta. Tetapi mereka, sebagaimana juga para pedagang Moor dari Surat, dikenai semua jenis tuntutan yang tidak berlaku untuk Perusahaan Kompeni. Sehingga Perusahaan Inggris membayar lebih banyak untuk gading. Dan jika kantor di Ayutthaya ditutup, maka mungkin monopoli timah di Ligor juga akan hilang. [1]

Sementara itu, pada tahun-tahun tersebut perdagangan teh dengan China menjadi lebih penting. Meskipun kayu cendana masih cukup berguna sebagai muatan di kapal VOC, teh adalah produk yang jauh lebih menguntungkan. Pada awal abad ke-18 kapal-kapal jung China membawa teh ke Batavia. Pada tahun 1727 Heeren XVII [2] memutuskan untuk mengirim dua kapal langsung ke Canton, yang menjadi tujuan semakin populer bagi perusahaan perdagangan Eropa. Dalam lima tahun VOC telah mengirim sebelas kapal ke Canton, dan pada1730-1732 dibeli 1,4 juta pon teh dari China setiap tahunnya, dan telah mencapai posisi dominan di pasaran teh. Dari tahun 1734 perdagangan teh VOC termasuk dalam jaringan Asia. [3]

Dalam konteks perdagangan teh yang meningkat itu, Ayutthaya bukan lagi ‘tempat yang dipentingkan’. Untuk semua perusahaan dagang Eropa, perdagangan dengan Siam menjadi kurang penting karena munculnya perdagangan teh Cina. Kenaikan mencuat dalam budidaya kopi di pedalaman pegunungan, pelabuhan Jawa, Cirebon (disebut Priangan) menjadi penting bagi VOC dari tahun 1707. Pada tahun 1725 Jawa sudah memproduksi lebih dari 4 juta pon kopi untuk pasaran Eropa. Tetapi ada alasan lain yang membuat Siam menjadi kurang populer, yaitu larangan adanya perdagangan opium.

Pada kuartal terakhir abad ke-17 pantai timur laut pulau Jawa menjadi daerah populer khususnya untuk tempat penjualan opium ilegal. Pada sebagian besar daerah di Jawa tidak ada tabu untuk opium. Opium, misalnya, dikonsumsi selama upacara ritual di istana Mataram. Meskipun Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten (Jawa Barat) menentang keputusan terhadap opium, perdagangan opium di seluruh Jawa meningkat tinggi dalam dasawarsa pertama abad ke-18. Baik bagi Inggris maupun Belanda penjualan (ilegal) opium menjadi semakin penting daripada penjualan tekstil India.

Raja-raja Siam terus saja menutup pintu secara ketat untuk perdagangan opium. Ada hukuman berat untuk impor opium, yang kemudian juga disadari oleh para pekerja Perusahaan Kompeni. Penerjemah kedua Pieter Broucheborde ditahan dan dieksekusi pada 1714 karena menyelundupkan opium. Otoritas pelabuhan Siam juga memeriksa lighter-lighter (tongkang) Perusahaan Kompeni yang ada di sungai, dan mereka bermaksud untuk menyelidiki semua pegawai Perusahaan Kompeni. Namun, atas permintaan khusus dari opperhoofd Dirk Blom, Raja Tai Sa meniadakan langkah-langkah ini. Karena insiden tersebut, perdagangan dengan VOC terhenti selama dua bulan. [4]

Dalam konteks sejarah ini, munculnya perdagangan dunia dalam bidang kopi, teh dan opium, Siam menjadi kurang penting bagi perdagangan intra-Asia dan Asia-Eropa. Dapat diargumentasikan bahwa dalam jangka panjang hal ini adalah ‘berkah tanpa disadari’ bagi Thailand. Fokus dari kekuatan Eropa di India, Cina dan Jawa, dan kurangnya kepentingan Siam, dalam kombinasi dengan tindakan percaya diri raja-raja Siam, memberikan kontribusi untuk fakta bahwa Siam tidak menjadi mangsa kolonialisme di abad ke-18.

 

Sumber Acuan:

Brummelhuis, Han ten, Merchant, Courtier and Diplomat. A History of the Contacts between the Netherlands and Thailand. Lochem-Gent: de Tijdstroom, 1987.

Jacobs, Els M., Koopman in Azië. De handel van de Verenigde Oost-Indische Compagnie tijdens de 18de eeuw. Zutphen: Walburg Pers, 2000.

 

-----

[1] Generale Missieven IX: 1729-1737, hlm. 299-300 (14 February, 1732).

[2] De Heeren XVII adalah dewan direktur (direksi) yang menjalankan perusahaan VOC.

[3] Els M. Jacobs, Koopman in Azië. De handel van de Verenigde Oost-Indische Compagnie tijdens de 18de eeuw. Zutphen: Walburg Pers, 2000, hlm. 137-142.

[4] Generale Missieven VII, 1713-1725, hlm. 67.

Hendrik E. Niemeijer, “Surat berasal dari Chaophraya Phraklang atas nama Raja Borommakot Maha Dharmaracha II (memerintah 1733-1758) ditujukan kepada Pemerintah Agung di Batavia, (diterima) 29 Maret 1740, dan jawaban dari Batavia, 28 Agustus 1740”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Europa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 27. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2016.