Surat berasal dari Chaophraya Phraklang atas nama Raja Thai Sa (memerintah 1709-1733) ditujukan kepada Pemerintah Agung di Batavia, sebelum bulan Maret 1719, dan jawaban dari Batavia 18 Agustus 1719

Sekumpulan gajah di pagar atau “taman” di Ayutthaya

Kata Pengantar oleh Dhiravat na Pombejra (Former Associate Professor Chulalongkorn University, Bangkok)

Download the full article in PDF

Surat Phrakhlang Chaophraya dari Raja Thai Sa kepada Gubernur-Jenderal dan Anggota Dewan di Batavia ini adalah contoh penting dari berapa banyaknya diplomasi Belanda-Siam pada saat itu yang berkaitan dengan bisnis, atau lebih tepatnya pemesanan barang dari Belanda oleh istana Ayutthaya.

Barang-barang yang dibahas dalam surat ini, yaitu tekstil, senjata, kuda dan topi, bukan merupakan barang baru dalam sejarah panjang kerajaan Siam dengan tuntutannya yang tiada akhir terhadap barang-barang mewah dan barang-barang langka, serta pakaian dari luar negeri untuk digunakan oleh para raja dan pengiring mereka. Istana Raja Narai, misalnya, selalu meminta para pedagang Eropa untuk membawakan barang-barang mewah dan langka, bahkan juga peralatan ilmiah seperti teleskop, dan barang-barang seperti kacamata dan jam [1].

Dari suratnya terbukti bahwa menteri Phrakhlang tahu betul sejauh mana jangkauan politik dan komersial yang luas VOC. Suratnya meminta cengkeh dan pala dari Kepulauan Rempah-rempah Maluku, kayu cendana wangi dari Timor, berbagai jenis tekstil India dan perak Belanda serta juga topi dengan bulu-bulu.

Meriam kecil yang dulunya untuk digunakan di punggung gajah memang sangat menarik. Meskipun gajah pada umumnya takut suara tembakan dan, pada abad ketujuh belas gajah telah kehilangan banyak peran pentingnya dalam peperangan Asia sebagai hewan tempur, beberapa gajah perang Raja Siam sudah dilatih untuk membiasakan diri untuk suara gemuruh senjata, itulah sebab permintaan akan meriam kecil tersebut. Memang benar, gajah Raja masih dilatih untuk tidak panik pada saat mendengar tembakan meriam sampai pada akhir 1761, dalam persiapan serangan Burma yang pada waktu itu segera terjadi. [2]

Dalam sejarah Siam, konteks langsung dari surat ini menyangkut peran Cina di kerajaan Ayutthaya dan perdagangan beras dengan Cina selatan. Kebangkitan perdagangan maritim Cina dengan Asia Tenggara diikuti dengan pencabutan 1.684 hukuman maritim yang dikenakan oleh Qing, dan meskipun haijin itu digunakan lagi segera setelah itu, hal itu tidak menghentikan kegiatan jaringan perdagangan kapal-kapal jung sampai waktu lama, terutama yang dari Fujian. Dalam kasus Siam, masa krisis karena banjir dan kelaparan di Cina selatan dan timur yang mempengaruhi Guangdong, Xhejiang dan (terutama) Fujian, dan adanya surplus beras Siam menyebabkan perdagangan beras berkembang antara Ayutthaya dan pelabuhan Fujian dan Guangzhou. [3]

Hasil yang lainnya dari penguatan hubungan perdagangan Sino-Siam, dan dampak Cina di Asia Tenggara selama periode ini, adalah penunjukan seorang Cina berasal dari Amoy (Xiamen) sebagai menteri Phrakhlang di istana Raja Thai Sa. Orang Cina menjadi tokoh-tokoh berpengaruh di kalangan istana, terutama dalam aparat perdagangan kerajaan Siam. Sangat mungkin sekali Phrakhlang Cina itu yang mendiktekan surat ke Pemerintahan Agung (Hoge Regering).

Surat jawaban dari Hoge Regering kepada Yang Mulia Raja Siam adalah penting untuk hal yang berkenaan dengan basa-basi sopan-santun dan frasa kalimat yang baik dalam mengekspresikan persahabatan yang berlangsung. Surat dari Batavia ke Phrakhlang, di sisi lain, lebih bernada langsung berkaitan dengan perdagangan dan bisnis. Dalam hal para pembeli kuda Raja Siam yang tidak mampu untuk membeli jenis kuda yang lebih cocok, misalnya, Gubernur-Jenderal dan Anggota Dewan menyatakan bahwa mereka telah melakukan semua yang mereka bisa lakukan untuk membantu para utusan Siam terebut, dengan menyediakan transportasi dan pemberian pinjaman yang royal. Belanda secara konsisten membantu kerajaan Siam dari pemerintahan Raja Narai (1656-1688) sampai Raja Borommakot (1733-1758) dalam pencariannya untuk mendapatkan kuda Jawa untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan istana di Ayutthaya [4].  Batavia cukup terang-terangan dalam mengisyaratkan bahwa pembeli kuda raja menggunakan berbagai alasan untuk menutupi kegagalan mereka sendiri dalam membeli kuda yang memuaskan seperti yang diinginkan oleh istana.

-----

[1] Dhiravat na Pombejra. Siamese Court Life in the Seventeenth Century as Depicted in European Sources. Bangkok: Chulalongkorn University, 2001, Bab 8 (hlm. 146-167).

[2] Archives des Missions Étrangères, Paris. Vol. 885, hlm. 627, Mgr. Brigot aux Directeurs du Séminaire, 9 Jan. 1761.

[3] Sarasin Viraphol, Tribute and Profit. Sino-Siamese Trade 1652-1853. Chiang Mai: Silkworm, 2014 (terbitan pertama 1977), Bab 5, khususnya hlm. 73-77.

[4] Lihat Dhiravat na Pombejra, “Javanese horses for the court of Ayutthaya” dalam Greg Bankoff dan Sandra S. Swart (eds.), Breeds of Empire. The ‘Invention’ of the Horse in Southeast Asia and Southern Africa 1500-1950. Copenhagen: NIAS, 2007, hlm. 65-81.

 

Dhiravat na Pombejra, “Surat berasal dari Chaophraya Phraklang atas nama Raja Thai Sa (memerintah 1709-1733) ditujukan kepada Pemerintah Agung di Batavia, sebelum bulan Maret 1719, dan jawaban dari Batavia 18 Augustus 1719”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Europa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 24. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2016.