Surat berasal dari Phraklang atas nama Raja Siam Prasatthong (memerintah 1629-1656) ditujukan kepada Pemerintah Agung, 2 Maret 1641

Pelayaran Kerajaan di Siam (Thailand), Jan Luyken

Kata Pengantar oleh Hendrik E. Niemeijer, Senior Lecturer in Maritime and World History (Diponegoro University, Semarang)

Download the full article in PDF

Surat dari Phrakhlang, menteri urusan luar negeri dan perdagangan Siam, kepada Gubernur-Jenderal Antonio van Diemen (menjabat 1636-1645) dan Anggota Dewan di Batavia ini adalah contoh yang baik dari “diplomasi maritim”: korespondensi diplomatik tingkat tinggi antara dua thalasokrasi (VOC Batavia dan Siam) atau negara-negara maritim untuk menangani hal-hal yang menjadi kepentingan bersama, dan untuk menyelesaikan perselisihan mengenai kegiatan perdagangan maritim mereka atau lingkup pengaruh di laut.

Pada tahun 1641, “puncak pertukaran diplomatik Belanda – Siam” sudah berakhir. Hubungan antara Raja-raja Siam dan Pangeran Oranye dan penerimaan secara megah dari empat duta utusan penting Belanda di kerajaan Siam berlangsung selama periode 1628-1641. Pada tahun 1641 surat resmi dan hadiah terakhir dari Pangeran Oranye kepada Raja Siam diterima di Ayutthaya dengan kemegahan dan kehormatan, di bawah pengawasan kepala eksekutif Belanda Jeremias van Vliet.

Bagi Belanda, tahun 1641 terutama ditandai atas penaklukan akhir terhadap Malaka Portugis, dan penguasaan berikutnya atas Selat Malaka.

Dalam surat ini Raja Prasatthong (melalui Phrakhlang) menampilkan dirinya sebagai penguasa yang mempunyai tradisi panjang dalam berpartisipasi secara sangat aktif dalam jaringan perdagangan luar negeri intra-Asia. Kapal-kapal jung kerajaan Siam pernah aktif di Laut Cina Selatan dan di Samudera Hindia untuk waktu yang lama. Negara itu telah mengirimkan 36 misi-misi upeti kepada penguasa Ming antara tahun 1371 dan 1404 dan 22 pada masa pemerintahan Yung-lo, 1405-1433. Jadi, kapal-kapal jung Siam sering terlihat di Laut Cina Selatan. Sampai sekitar tahun 1450 kekuatan maritim Siam terutama bersaing dengan Jawa dan Champa, sampai munculnya Malaka di bawah Sultan Mansur Shah (memerintah 1459-1477), ketika Malaka mendominasi wilayah maritim Asia Tenggara.

Penaklukan Portugis atas Malaka pada tahun 1511 pada awalnya mungkin menguntungkan bagi Ayutthaya. Tempat itu menjadi pelabuhan alternatif bagi para pedagang Muslim dan lain-lain. Tempat itu juga menjadi titik temu bersama (nodal point) untuk jalur perdagangan Cina ke Filipina dan Borneo, hingga ketika bencana melanda dan Ayutthaya, kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara pada pertengahan abad keenam belas, dihancurkan oleh Burma pada tahun 1569. Pengapalan langsung Cina ke Asia Tenggara dan munculnya Banten juga mendukung jatuhnya Ayutthaya.

Munculnya perusahaan perdagangan Eropa, khususnya Perusahaan Persatuan Dagang Hindia Timur (VOC, 1602) dari Belanda, menjadikan tantangan lain bagi Ayutthaya selama periode 1600-1688. Kapal kargo Eropa bisa membawa muatan lebih banyak untuk jarak yang lebih panjang dengan harga yang lebih murah, dan kemudian orang-orang Eropa juga segera memonopoli produk-produk penting dalam rantai bisnis, seperti rempah-rempah yang sangat baik (pala dan cengkeh) dari Maluku. Batavia Belanda dan Manila Spanyol menjadi dua pesaing internasional, sedangkan Portugis tetap aktif di Makao. Ayutthaya menjadi semakin lebih terfokuskan pada perdagangan China, dan menarik semua pedagang yang disingkirkan oleh monopoli Belanda: para pedagang dari Inggris, Portugis, Perancis, umat Islam dari India, dan Melayu dari Malaka dan para pedagang dari pelabuhan utama Sumatera, Jambi dan Palembang. Meskipun Ayutthaya cukup aktif dalam perdagangan ekspor dengan Jepang – yang terdiri dari kulit rusa dan sapi, kayu secang, kulit ikan pari, dan gading gajah – , partisipasi Siam dalam pengapalan barang dagangan Siam-Jepang menurun pada masa kuartal kedua abad ke-17.

Dalam konteks penurunan perdagangan inilah, Raja pada tahun 1640-1641 mengizinkan gubernur Siam untuk mempersiapkan sebuah kapal jung berlayar ke Batavia untuk menjual beras dan tembaga untuk Raja.

Surat itu sendiri mengandung dua permintaan dari Raja: 1.) meminta bantuan Batavia untuk menemukan sebuah kapal jung Siam yang dicuri oleh seorang nakhoda Cina; dan 2.) meminta sebuah model kapal untuk mainan anaknya.

Permintaan pertama memberikan informasi menarik tentang ukuran sebuah kapal Siam biasa pada masa itu, dan contoh dari awak kapal Siam yang umum. Kapal itu sendiri berukuran 34,31 x 6,11 meter dan mempunyai awak kapal campuran yang terdiri dari 61 laki-laki, di antaranya 26 orang Cina dan 22 Muslim (India) dan Melayu. Kapal jung tersebut tidak dipimpin oleh seorang nakhoda Siam, tetapi oleh seorang kapten Melayu Muslim, dan mempekerjakan seorang Cina sebagai kapten kedua. Kepala juru mudi adalah seorang Cina Muslim dan kepala bosum juga orang Cina. Orang-orang Siam di kapal itu adalah seorang pedagang kepala dengan dua asisten, dan hanya ada 11 awak Siam. Hal itu menegaskan gagasan misalnya dari Ishii Yoneo bahwa “operations at sea seem to have been exclusively in the hands of non-Siamese” [pengoperasian kapal jung kerajaan di laut tampaknya secara eksklusif ditangani oleh orang non-Siam], sementara pekerjaan perdagangan itu sendiri hanya diperbolehkan untuk dilakukan oleh beberapa pedagang Siam di kapal itu. Situasi seperti itu melibatkan risiko tertentu, seperti yang diperlihatkan oleh surat itu.

Data-data ini, seperti juga data tentang persenjataan di kapal, memperlihatkan kepada kita sekilas tentang bagaimana kapal jung Siam dulu dioperasikan. Dalam hal keberagaman awak dan perangkat militer, kapal-kapal yang relatif kecil ini tampaknya jauh lebih rapuh dibandingkan dengan kapal-kapal kargo Eropa, yang mempunyai perlengkapan senjata lebih baik pada waktu itu. Dalam konteks inilah raja Ayutthaya sering meminta bantuan VOC ketika terjadi bencana.

 

Sumber Acuan:
Bhawan Ruangsilp, Dutch East India Company Merchants at the Court of Ayutthaya: Dutch Perceptions of the Thai Kingdom, c. 1604-1765 (Leiden / Boston: Brill, 2007).

Ishii Yoneo, “A Note on the Čhām Diaspora in the Ayutthayan Kingdom”, dalam: Geoff Wade dan Li Tana, Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past. (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2012), hlm. 241-245.

Reid, Anthony, “Documenting the Rise and Fall of Ayudhya as a Regional Trade Centre”, dalam: A. Reid, Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2000), bab 5, hlm. 85-99.

Hendrik E. Niemeijer, “Surat berasal dari Phraklang atas nama Raja Siam Prasatthong (memerintah 1629-1656) ditujukan kepada Pemerintah Agung, 2 Maret 1641”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Europa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 21. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2016.