Surat dari Phrakhlang atas nama Süa, Raja Siam (memerintah, 1703-1709) kepada Pemerintah Agung, Maret 1703, dan jawaban dari Batavia, 27 Agustus 1703

Pemandangan di Siam (Thailand) dengan perahu, 1687

Kata Pengantar oleh Dhiravat na Pombejra (Former Associate Professor Chulalongkorn University, Bangkok)

Download the full article in PDF

Surat dari Chaoprhaya Prakhlang tahun 1703 kepada Gubernur-Jenderal Van Outhoorn dan Dewan atas nama Somdet Phrachao Süa, Raja Siam, ditulis ketika raja baru saja dinobatkan. Sang menteri masih merujuk ke pengaturan pemakaman raja sebelumnya. Raja Süa (m. 1703-1709) merupakan anak lelaki tertua dari Raja Phetracha (m. 1688-1703) dan sebelum penobatannya, dia menjabat sebagai Pangeran Istana Depan (chao wang na) [1]. Meskipun tradisi sejarah Siam [2] mengatakan bahwa dia diakui sebagai anak laki-laki dari Raja Narai (m. 1656-1688) yang tidak dikenal. Tidak ada bukti yang kuat untuk mendukung dugaan ini. Dia nantinya dikenal sebagai seorang penguasa yang memperkokoh kekuasaannya setelah menggulingkan dengan kejam saudara tirinya Chao Phra Khwan dan beberapa penggawa istana lainnya. [3]

Surat tersebut terdata dari masa ketidakpuasan bersama antara VOC dan kerajaan Siam. Setelah “revolusi” Siam tahun 1688 yang menggulingkan Raja Narai dan mengantarkan ke sebuah dinasti baru, segalanya terlihat menjanjikan untuk Belanda. Bulan Desember tahun 1688, mereka menandatangani sebuah kontrak baru dengan Raja Phetracha yang menyatakan lagi semua hak-hak VOC di Siam sebagaimana diabadikan di kontrak VOC-Siam terdahulu pada bulan Agustus 1664, termasuk “perdagangan bebas” di Siam, monopoli ekspor untuk kulit rusa, dan hak-hak ekstrateritorial. Selanjutnya, di kontrak tersebut juga dikonfirmasikan mengenai monopoli ekspor Kompeni untuk timah yang dibeli di kota pelabuhan sebelah selatan Siam, Ligor (Nakhon Si Thammarat), dikabulkan di tahun 1671. [4] Surat itu banyak membahas sekitar dan tentang pembaharuan kontrak 1688, pada saat ketika  seorang raja baru telah dinobatkan. Belanda berharap untuk dapat memastikan kontrak-kontrak dagang yang lebih baik, namun kerajaan Siam menghendaki untuk menggunakan kesepakatan di kontrak yang lama, yang secara formal disarankan oleh Phrakhlang.

Ketidakpuasan Belanda dengan kontrak dan posisi mereka di Siam segera terjadi setelah 1688, dan mencapai klimaksnya pada saat pemerintahan Raja Süa. Sekitar waktu ditulisnya surat ini, masalah besar VOC berkisar mengenai perdagangan mereka di komoditas kayu secang, timah dan tekstil – dan juga kecurigaan Raja Süa terhadap bangsa Belanda. Tahun 1705, Gideon Tant, yang menjabat sebagai opperhoofd (kepala kantor perwakilan VOC) ketika itu di Ayutthaya antara tahun 1699 dan 1703, menganalisis hambatan-hambatan yang dihadapai Kompeni secara  detail. [5] Walaupun kontrak tersebut mengizinkan mereka melakukan “perdagangan bebas” di kerajaan Siam, Belanda dilarang membeli komoditas tertentu dari pedagang swasta. Oleh karena itu, salah satu komoditas terpenting untuk perdagangan VOC (atau hanya ‘milik mereka’) di Siam, bahan pewarna kayu secang, hanya dapat dibeli dari gudang-gudang kerajaan dengan harga tinggi.

Mengenai monopoli ekspor timah VOC dari Ligor, Tant terkejut dan cemas ketika menemukan  ada ketidaksesuaian di dalam teks kontrak 1688 yang menjurus pada penerimaan timah Belanda yang jauh dari ekspektasi mereka, kebanyakan dari timah itu malah diperuntukkan bagi Raja Siam. Hal ini terjadi karena di kontrak versi bahasa Belanda, VOC diizinkan untuk mengekspor semua timah di Ligor kecuali timah yang digunakan Raja Siam untuk aktivitasnya sendiri. Namun, dalam versi bahasa Siam, kontrak itu menetapkan bahwa “semua timah” di Ligor “menjadi milik Raja dan hanya boleh diperdagangkan oleh para pegawai Raja.” [6] Kesalahpahaman itu kemungkinan berasal dari kontrak yang tidak mengklarifikasi bahwa raja-raja Siam memiliki hak untuk menerima timah dari Ligor sebagai pajak upeti (suai).

Belanda memasok tekstil India secara teratur ke pasar Siam, biasanya kain katun cetak atau lukis  dari pantai Koromandel, Bengal, dan Gujarat. Namun, masalah yang terus menerus ada dalam perdagangan tekstil di Siam adalah desakan dari para Raja Siam dalam menetapkan harga untuk semua barang yang mereka beli, bahkan mereka membeli bahan tekstil dari VOC dengan harga yang lebih rendah dari harga yang VOC bayarkan untuk bahan-bahan itu di India. Banyak bahan yang tak terjual dirampas oleh pihak kerajaan, dan membuat perdagangan sebenarnya menjadi sebuah monopoli kerajaan. [7]

Phrakhlang meminta Batavia untuk mengganti opperhoofd VOC Gideon Tant dengan orang yang lebih cocok. Tant dikarakterkan sebagai “orang yang bertentangan dengan jalur persahabatan bersama dan adat istiadat lama”. Sang menteri sudah jengkel dengan usaha-usaha si orang Belanda itu untuk mendapatkan audiensi kerajaan untuk tujuan-tujuan pembaharuan dan negosiasi ulang kontrak Belanda-Siam. Sangat berlawanan dengan “masa keemasan” Kompeni di Ayutthaya pada era pemerintahan Raja Narai (m. 1657-1688),di mana ketika itu para pegawai VOC  bertindak sebagai orang dalam istana di kerajaan Siam, tetapi kini akses ke Raja dibatasi oleh protokoler istana. Dalam surat ini, Phrakhlang mempertahankan bahwa apa yang telah terjadi yang dikutip oleh Tant berasal dari waktu ketika ada krisis yang disebabkan agresi Prancis di Siam, yang membuat Raja (Phetracha) memanggil baik Okluang Aphai Wari (Joannes Keyts) maupun Okluang Wisit Sakhon (Pieter van den Hoorn) ke istana di akhir 1688 untuk memperbaharui kontrak 1664. Hal tersebut, oleh karenanya, bertentangan dengan kebiasaaan untuk meminta sebuah audiensi dengan raja – Phrakhlang mengatur bahwa semua komunikasi dengan Paduka Raja, harus melalui dia. Dia memasukkan juga dalam isi surat ini suatu kritikan keras  terhadap kemampuan dan integritas Tant, yang sebenarnya menuduh Tant melakukan tindak korupsi perniagaan.

Walaupun Gideon Tant berangkat ke Jepang pada tahun 1703 untuk mengisi posisi opperhoofd di Deshima dan digantikan oleh Arnout Cleur, konflik Belanda dengan kerajaan Siam jauh lebih diperburuk lagi oleh protokol istana Siam, yang mendorong ke arah penutupan kantor dagang Belanda di Siam. Protokol lagi-lagi kembali menjadi penyebab utama masalah itu. Insiden diplomatik terjadi di tahun 1705 ketika komisioner Belanda Joan van Velsen dicaci maki oleh pihak istana Raja Süa. Bangsa Siam merasa tersinggung karena Gubernur-Jenderal tidak membalas surat Raja yang sebelumnya, dan Raja Süa mengungkapkan ketidaksenangan itu dengan jelas. Van Velsen terintimidasi, semua permohonannya ditolak, dan pada akhirnya dia bahkan tidak diizinkan untuk mengikuti audiensi dengan kerajaan. Sebagai hasil akhirnya, dua ekor kuda Persia yang dibawa oleh Van Velsen sebagai hadiah Batavia kepada Raja yang diserahkan ke istana kerajaan selama sepuluh hari, kemudian dikembalikan ke pihak Belanda dalam kondisi yang memprihatinkan. VOC hampir tidak mempunyai pilihan lagi dan akhirnya meninggalkan Ayutthaya, walaupun hal tersebut bukanlah penarikan total. Seorang pegawai ditinggalkan disana di loji Kompeni, dan seorang lainnya diperbantukan untuk merawat gudang Kompeni “Amsterdam”. [8]

Dalamsurat ini, Phrakhlang mengacu lebih dari satu kali tentang hubungan antara Raja Siam dengan Pangeran Oranye (Raja Belanda). Hal ini, dari sisi Siam, bukan formalitas belaka. Kerajaan Ayutthaya selalu menekankan pentingnya korespondensi langsung dengan Pangeran Oranye, atau menggagalkan hubungan bilateral antara dua penguasa tersebut. Republik Belanda sepertinya sudah merupakan suatu konsep yang tidak dimengerti. Sekalipun begitu, Ayutthaya tetap memelihara kontak diplomatik yang terus menerus dengan Batavia karena Gubernur-Jenderal dilihat baik sebagai seorang penguasa pemerintahan maupun sebagai orang yang bertanggung jawab atas urusan-urusan VOC di Asia. [9]

Lingkungan istana Raja Süa, seperti halnya Raja Phetracha sebelumnya, memandang VOC sebagai pemasok barang mewah (khususnya tekstil India), pembeli barang dagangan dari gudang kerajaan dan akhirnya sebagai fasilitator dalam pencarian Raja untuk kuda-kuda berkualitas dari Jawa. Dengan demikian, walaupun ada perilaku waspada Raja Süa terhadap orang Eropa dan meningkatnya pengaruh Cina di lingkungan istana, masih selalu ada tempat untuk VOC menjamah dunia perdagangan Ayutthaya. Namun bagi orang Belanda, masalah-masalahnya tidak begitu jelas. Dilema VOC yang tetap tumbuh di separuh abad belakangan ini di Ayutthaya adalah apakah mereka meninggalkan kantor dagang yang menyusahkan ini, atau tetap tinggal walau dengan keuntungan yang turun. [10] Penutupan kantor di Siam tahun 1705-1706 pernah terjadi, tetapi hanya sementara saja – pada  bulan Juni 1706 opperhoofd Arnout Cleur kembali ke kediaman Kompeni di tepi sungai, yang letaknya beberapa langkah saja dari kota berdinding Ayuttaya yang, yang memulai perdagangan yang lesu dan membuat frustasi.

 

Sumber Acuan

Arsip

• Nationaal Archief, Den Haag. VOC 1691, fols. 61-72, “Relaas van‘t voorgevallene bij de ziekte en overlijden van den Siamse koninck PhraTrong Tham genaamt”  oleh Arnout Cleur, c.1703-1704.

• Nationaal Archief, VOC 1711, fols.1-20, “Berigt […] over den slegten toestant van handel en

verdere saken der E. Comp. etc.” [Laporan Perdagangan Kompeni di Siam] oleh Gideon Tant, 20 Maret 1705.

 

Sumber Sekunder

• Bhawan Ruangsilp. Dutch East India Company Merchants at the Court of Ayutthaya: Dutch Perceptions of the Thai Kingdom c.1604-1765. Leiden: Brill, 2007.

• Han ten Brummelhuis. Merchant, Courtier and Diplomat: A History of the Contacts between the Netherlands and Thailand. Lochem-Gent: De Tijdstroom, 1987.

• Richard D. Cushman (penerjemah) and David K. Wyatt (ed.), The Royal Chronicles of Ayutthaya. Bangkok: The Siam Society, 2000.

• George Vinal Smith. The Dutch in Seventeenth-Century Thailand. De Kalb: Northern Illinois University, 1977.



[1] Pangeran Istana Depan adalah jabatan uparaja (wakil raja). Istana Depan (Front Palace, Wang Na) adalah tempat tinggal wakil raja.

[2] Richard D. Cushman (tr.) dan David K. Wyatt (ed.), The Royal Chronicles of Ayutthaya. Bangkok: The Siam Society, 2000, hlm. 300-301.

[3] Nationaal Archief, Den Haag. VOC 1691, hlm. 61-72, “Relaas van ‘t voorgevallene bij de ziekte en overlijden van den Siamse koninck Phra Trong Tham genaamt” oleh Arnout Cleur, c.1703-1704. Lihat juga Bhawan Ruangsilp. Dutch East India Company Merchants at the Court of Ayutthaya: Dutch Perceptions of the Thai Kingdom c.1604-1765. Leiden: Brill, 2007, hlm.173-176.

[4] George Vinal Smith,The Dutch in Seventeenth-Century Thailand. De Kalb: Northern Illinois University, 1977, hlm. 45; Han ten Brummelhuis, Merchant, Courtier and Diplomat: A History of the Contacts between the Netherlands and Thailand. Lochem-Gent: De Tijdstroom, 1987, hlm. 40-41.

[5] NA, VOC 1711, fols.1-20, “Berigt” mengenai perdagangan Kompeni oleh Gideon Tant, 20 Maret 1705

[6] Ten Brummelhuis, Merchant, hlm. 45.

[7] Ten Brummelhuis, Merchant, hlm. 45; Bhawan, Dutch East India Company Merchants, hlm. 177.

[8] Bhawan, Dutch East India Company Merchants, hlm. 177-178.

[9] Bhawan, Dutch East India Company Merchants, hlm. 29-33.

[10] Bhawan, Dutch East India Company Merchants, hlm. 179.

Dhiravat na Pombejra, “Surat dari Phrakhlang atas nama Süa, Raja Siam (memerintah, 1703-1709) kepada Pemerintah Agung, Maret 1703, dan jawaban dari Batavia, 27 Agustus 1703”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Europa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 20. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2016.