Surat dari Phrakhlang atas nama Raja Siam Phetracha (memerintah, 1688-1703) kepada Pemerintah Agung, 12 Februari 1689 dan jawaban dari Batavia, 4 Mei 1689

Pemandangan di Siam (Thailand) dengan perahu, 1687

Kata Pengantar oleh Hendrik E. Niemeijer (Diponegoro University, Semarang)

Download the full article in PDF

Ketika Raja Narai dari Siam (m. 1656-1688) wafat di malam hari tanggal 11 Juli 1688, telah menjadi jelas di istana Ayutthaya, ibukota kerajaan Siam, bahwa salah satu petinggi di kerajaan, Phra Phetracha, telah merebut kekuasaan. “Revolusi Istana 1688” merupakan salah satu peristiwa yang dikenal di sejarah modern awal Siam, menandai pergeseran fundamental dalam kebijakan luar negeri kerajaan Siam. Orang Prancis, sebagaimana juga orang Inggris, dikucilkan dari wilayah Siam atau berakhir dalam keadaan sengsara di penjara.

Yang langsung menjadi korban adalah penasihat berkebangsaan Yunani untuk raja sebelumnya, Constantine Phaulkon, yang langsung dieksekusi. Lahir di Kephalonia (Yunani) tahun 1647, Phaulkon telah bekerja untuk Perusahaan Dagang Inggris di Hindia Timur (East India Company, EIC, 1600-1874) sebelum bermukim di Ayutthaya tahun 1678. Menyusul kepindahan agamanya ke Katolik Roma tahun 1682, beliau telah menjadi dekat dengan orang Prancis. Selama tahun terakhir pemerintahan Narai, raja Prancis, Louis XIV (m. 1643-1715) telah mengirimkan dua misi diplomatik ke Ayutthayya, yang pertama di tahun 1685 dipimpin oleh Chevalier de Chaumont dan ditemani oleh misionaris terkenal, Père Guy Tachard (1651-1712) dan yang kedua, di tahun 1687 dipimpin diplomat berpengalaman Prancis Simon de la Loubère (1642-1729) dan Direktur Perusahaan Dagang Prancis di Hindia Timur (Compagnie française pour le commerce des Indes Orientales, 1664-1794) Claude Céberet du Boullay (1647- 1702). Raja Prancis, sementara itu, menerima tiga misi diplomatik Siam di istananya di Versailles tahun 1684 dan 1685. Hubungan diplomasi Siam-Prancis yang luar biasa tetapi singkat ini, memicu prasangka pesaing utama Prancis di Eropa, khususnya Belanda dan Inggris. Menurut wakil VOC di Ayutthaya, Joannes Keyts, baik Phaulkon dan misionaris Prancis memainkan peranan dalam hasrat Raja Narai untuk pengakuan internasional, khususnya dari kekuatan-kekuatan utama Eropa, India, dan Persia. Hadiah barang mewah dipersembahkan selama misi diplomatik ini, seperti jam dinding, ukiran, barang pecah belah, buku, dan ratusan cermin kaca, yang membuat anggun istananya, merupakan cara mempromosikan penemuan baru Narai. Namun, elit istana mulai merasa jemu dengan diplomasi mahal Raja, dan Phaulkon pun ditangkap dalam kudeta istana dan kemudian dihukum mati. 

Beberapa sejarawan internasional yang terkenal dari sejarah modern awal Siam, termasuk Dhiravat na Pombejra, Bhawan Ruangsilp, Dirk van der Cruysse dan Remco Raben, telah berdebat apakah perebutan kekuasaan pemerintahan Phetracha mengantarkan ke era isolasi kebijakan luar negeri Siam dalam kaitannya dengan Barat. Pertanyaan yang langsung terlihat adalah apa yang Siam peroleh dari kontrak yang diperbaharui dengan VOC. Sebuah pertanyaan sulit lainnya adalah bagaimana Revolusi Siam 1688 memengaruhi hubungan antara Siam dan kekuatan Asia Tenggara lainnya di sekitar Paparan Sunda dan laut Jawa. 

Bulan September 1688, hanya sekitar beberapa bulan setelah wafatnya Narai, Joannes Keyts berhasil memperbaharui kontrak VOC tahun 1664 yang  sudah seperempat abad usianya. [1] Hal ini sangat luar biasa, mengingat kabar wafatnya Narai baru sampai Batavia melalui kapal Cina dari Malaka tanggal 9 Desember. [2] Baru pada tanggal 2 Januari, ditandai dengan kedatangan kapal VOC De Vrijheid di Batavia, kabar yang detail dari Siam akhirnya sampai ke Pemerintah Agung. Kabar ini disisipkan di Catatan Harian Kastil Batavia. [3] Hanya sebulan kemudian, tanggal 12 Februari, surat diplomatik resmi dari Siam diterima dan para diplomat Siam yang menyertai diajak tur dengan menaiki kereta kuda mengelilingi Batavia untuk merayakan “Pembaharuan Kontrak” terhadap kontrak asli tahun 1664. [4]

Pembaharuan kontrak dari kontrak yang sudah kedaluwarsa ini berarti membuka lagi “business as usual”, bisnis seperti biasanya antara VOC dan kerajaan Siam. Raja perebut kekuasaan itu,  menyadari bahwa kontrak tersebut tidak mencakup semua pengaturan bisnis. Kemudian penawaran dibuat di surat resminya untuk menyediakan bantuan dalam masalah-masalah yang dihilangkan pada kontrak aslinya. VOC diizinkan untuk mengimpor tekstil dari India dan berperan sebagai pemasok lokal, jadi memelihara posisi istimewanya sebagai pengekspor utama kulit rusa dan timah. Selama masa pemerintahan Raja Phetracha, yang diperbebatkan hanyalah sejauh urusan bisnis VOC-Siam tetap menguntungkan kedua belah pihak, mengingat Siam nampaknya telah memelihara hubungan bisnis yang kuat dengan produsen tekstil di India untuk menghindari ketergantungan terhadap VOC dan perusahaan dagang monopoli lainnya. Siam juga tetap kritis terhadap kualitas dan harga komoditas impor Belanda.

Surat penting tertanggal 12 Februari ini telah diidentifikasi dan diringkas oleh Bhawan Ruangsilp, yang menyebutnya surat pertama dari Phetracha dan Phrakhlang atau Menteri Urusan Bendahara Negara dan Luar Negeri yang baru, Kosa Pan, mantan duta besar pertama Raja Narai di Prancis 1686-7. [5] Hal ini membuktikan bahwa ada kontinuitas yang penting dalam kebijakan asing di lingkungan istana Petracha. Meskipun tentunya, ahli-ahli Siam dalam bidang politik Eropa yang lebih jauh dikonsultasikan. Ahli politik luar negeri Siam kemungkinan mempunyai pengetahuan yang bagus mengenai krisis di Eropa dan juga dapat mengikuti perkembangan ini lewat jarak jauh. Ayutthaya, seperti halnya kerajaan di Asia Tenggara lainnya, telah  menjadi bagian integral dari permulaan tatanan global yang muncul di akhir abad 17 dan 18. Perang Prancis- Belanda tahun 1672-1679 (dikenal juga dengan sebutan Franco-Dutch War) –  suatu konflik yang dilancarkan dengan tujuan meyakinkan penggabungan Belanda bagian Selatan ke dalam dinasti kekaisaran Louis XIV – secara langsung memengaruhi posisi Eropa di Asia. Politikus Siam boleh jadi mengetahui tentang kelemahan militer Belanda dan mungkin bertaruh pada satu aliansi yang mereka anggap sebagai kekuatan terkuat Eropa (walaupun aliansi rahasia Anglo-Prancis dinegosiasikan oleh menteri-menteri Charles II sudah diberhentikan pada tahun 1674). Prancis dapat memperlihatkan kekuatan penuh mereka kepada diplomat-diplomat Siam di Versailles di tahun pertengahan 1680-an. Model kekuasaan absolut Raja Surya (julukan Louis XIV: Le Roi Soleil)  ditunjukkan ke tamu-tamu Asia mereka yang semuanya sangat tercengang. 

Penasihat istana Siam tidak dapat meramalkan dengan pasti kejadian-kejadian penting di Eropa yang pada saat itu terjadi: di bulan September 1688 – bulan ketika raja baru Phetracha membuat kesepakatan dengan Joannes Keyts – Louis XIV menginvasi Rhineland-Palatinate dan bulan November 1688, sekutu Raja Surya, Raja James II dari Inggris, turun tahta, dan Stadholder (pemangku kuasa) Belanda, Willem III naik takhta menjadi raja Inggris, mengantarkan ke peristiwa yang dikenal dengan sebutan “Glorious Revolution” (Revolusi Gemilang). Pada akhir Perang Sembilan Tahun (Nine-Years War, 1688-1697) Prancis mengalami kekalahan hegemoni armada lautnya atas angkatan laut yang hidup kembali, Inggris. Sebagai konsekuensi pengembangan ini, orang Belanda di Batavia memiliki lebih sedikit kekhawatiran tentang kemungkinan  adanya ekspedisi angkatan laut Prancis ke Selat Sunda. Namun yang lebih menyakitkan, mereka sekarang harus memperlakukan rival abadinya, Inggris, sebagai bangsa yang ramah, dan ini terjadi hanya lima tahun sejak mereka telah berhasil membantu Sultan Banten mengusir Inggris dari pelabuhan lada strategis itu.

Pertimbangan strategis lainnya dibalik surat Phetracha adalah mengenai hubungan Siam dengan kerajaan Melayu di selatan. Hal ini berkisar pada ketertarikan raja-raja Siam untuk memperlihatkan pengaruh tradisional mereka di wilayah selatan Melayu: Patani, Phatthalung, Kedah, dan Kamboja pada saat itu adalah negara bagian Ayutthaya. Surat-surat diplomatik kontemporer tentu saja mengacu ke pengaruh lingkungan Siam pada kawasan Asia Tenggara yang lebih luas, khususnya kerajaan Melayu Johor dan Jambi. Phetracha menulis bahwa dia telah mengutus dua orang diplomat ke Kesultanan Johor-Riau yang pada saat itu diperintah oleh Mahmud Shah II (m. 1685-1699). “Kota dan Negara Johor”, surat resmi Phetracha ke Pemerintah Agung menjelaskan, “adalah dalam kuasa Pemerintahan Siam sejak lama sekali”. Tentu saja, di dalam suratnya Raja Phetracha memerankan dirinya sebagai mediator netral antara Gubernur Malaka dan Sultan Johor, yang telah menulis ke Siam bahwa beliau menduga akan ada sebuah serangan dari Malaka. Pernyataan ini serupa dengan isi salah satu surat Raja Narai yang diterima di Batavia tanggal 27 Januari 1683. Di surat sebelum ini, Raja Narai memberitahu Batavia bahwa penguasa Jambi, Duli Sultan Ingalaga (yaitu Sultan Abdul Muhyi, m. 1679-1687), telah mengirimkan persembahan bunga mas dan perak yang diharuskan ke Siam sebagai permohonan resmi untuk menjadi pengikut Raja Siam (dan mencari pada saat bersamaan pinjaman sejumlah uang). Raja Narai menerima permohonan itu dan menginformasikan Batavia bahwa Jambi sekarang menjadi milik Siam. [6]

Kontak diplomatik antara Siam dan Kerajaan Melayu mungkin merupakan bagian yang paling menarik dari surat ini. Dunia Asia Tenggara adalah salah satu dari “pusat berbagai kegiatan diplomasi”. [7] Sayang sekali, banyak dari korespondensi surat-surat diplomatik antara kerajaan-kerajaan Melayu, Jawa, Siam, dan lainnya telah punah. Hal ini membuat tidak mungkin untuk mengestimasi – apa lagi  memvisualisasikannya dengan menggunakan teknologi modern – frekuensi dan sifat kontak-kontak tersebut. Bisa terlihat dari proyek “surat-surat diplomatik” di laman Sejarah Nusantara bahwa Batavia selalu menjadi pusat aktivitas diplomasi. Namun sebenarnya, Batavia lebih baik dilihat hanya sebagai salah satu pusat diplomasi, walaupun merupakan pusat yang sangat penting

 

Sumber Rujukan

• Van der Cruysse, Dirk, Louis XIV et le Siam. Paris: Fayard, 1991 (diterjemahkan oleh Michael Smithies dengan judul Siam and The West 1500-1700). Chiang Mai: Silkworm Books, 2002.

• Guy Tachard, A Relation to the Voyage to Siam Performed by Six Jesuits, sent by the French King, to the Indies and China, in the Year, 1685. Diterbitkan oleh Itineraria Asiatica, Thailand Jilid II, Bangkok: Orchid Press, 1999.

• Bhawan Ruangsilp, Dutch East India Company Merchants at the Court of Ayutthaya: Dutch Perceptions of the Thai Kingdom, c. 1604-1765. Leiden: Brill, 2007.

-----

[1] Kontrak ditandatangani tanggal 14 November 1689, lihat Corpus Diplomaticum, jilid 3 (1676-1691),hlm. 473-479.

[2] ANRI, Catatan Harian Kastel Batavia, nomor 2503, fol. 563.

[3] ANRI, Catatan Harian Kastel Batavia, nomor 2504, fol. 2-8.

[4] ANRI, Catatan Harian Kastel Batavia, nomor 2504, fol. 125-153.

[5] Bhawan Ruangsilp, Dutch East India Company Merchants at the Court of Ayutthaya: Dutch Perceptions of the Thai Kingdom, c. 1604-1765 (Leiden: Brill, 2007), hlm. 156-157.

[6] Lihat Dokumen Harta Karun 18, pendahuluan oleh Bhawan Ruangslip.

[7] Ini adalah parafrase penulis (H.E. Niemeijer) dari konsep “multiple centres of authority”oleh Barnard.

Hendrik E. Niemeijer, “Surat dari Phrakhlang atas nama Raja Siam Phetracha (memerintah, 1688-1703) kepada Pemerintah Agung, 12 Februari 1689” dan jawaban dari Batavia, 4 mei 1689. Dalam: Harta Karun.Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 19.Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2016.