Surat berasal dari Phrakhlang atas nama Raja Siam Narai (berkuasa, 1656-1688) ditujukan kepada Pemerintah Agung, 27 Januari 1683 dan jawaban dari Batavia 11 Mei 1683

Pemandangan kota Ayutthaya, Ibukota Kerajaan Siam. Lukisan karya Johannes Vinckboons, c. 1662 - c. 1663

Kata Pengantar oleh Bhawan Ruangsilp (Chulalongkorn University, Bangkok) and Hendrik E. Niemeijer (Diponegoro University, Semarang)

Download the full article in PDF

Hubungan politik antara Siam dan Republik Belanda sudah dimulai sejak sekitar tahun 1600 ketika perwakilan-perwakilan VOC mengunjungi istana kerajaan Ayutthaya dan mendirikan kantor perdagangan Belanda pertama di kerajaan tersebut. Pada saat yang bersamaan, utusan-utusan Siam dikirim ke kota Den Haag dan Eropa.[1]

Keterlibatan Belanda di Siam pada mulanya didorong oleh arti pentingnya Siam pada skema Kompeni di perdagangan Asia Timur. Awalnya, VOC berharap dapat memanfaatkan jaringan perniagaan antara Siam dan Cina yang didasarkan pada hubungan upeti (tributary relations) Ayutthaya dengan kerajaan Manchu. Pada akhirnya diketahui, bagaimanapun juga, bahwa produk-produk Thailand, khususnya kulit binatang dan kayu secang, dapat digunakan untuk menukar perak Jepang dan tembaga merah yang VOC butuhkan untuk membeli sutra Cina dan tekstil India. Sejak dari awal, Kompeni mencoba mendapatkan hak eksklusif untuk membeli dan mengekspor  komoditas Thailand tersebut dengan cara memperlihatkan diri mereka pada kerajaan Siam sebagai sekutu  perdagangan yang pantas, juga sebagai teman diplomatik dan sekutu politik. Pola bisnis Belanda – yang termasuk juga hak-hak monopoli eksklusif – menjurus pada konflik perniagaan antara Kompeni dan kerajaan. Dalam konteks historiografi modern, hal ini dapat disebut sebagai ‘bentrokan antara dua kekuatan monopolistik’.[2]

Fiksasi Siam terhadap kendali negara pada perdagangan luar negeri tercermin pada penciptaan aparat birokrasi, Pharakhlang Sinkha, “Kementerian Hubungan Luar Negeri dan Urusan Perdagangan Maritim”. Kementerian ini bertanggung jawab untuk perdagangan luar negeri, urusan luar negeri, dan peraturan masyarakat perdagangan luar negeri.[3] Menterinya, Okya Phrakhlang,  sering dieja Oya Berquelangh di arsip-arsip Belanda, bertanggung jawab untuk pertukaran surat-surat dan hadiah-hadiah dengan Batavia atas nama Raja dan nama sendiri. Selama abad 17, hal ini terjadi di hampir setiap tahun dan melibatkan korespondensi yang intens antara kedua pihak. Korespondensi ini didominasi oleh isu-isu perdagangan di mana kedua belah pihak berusaha memaksimalkan keuntungan perniagaan mereka.

Masa pemerintahan Raja Narai (berkuasa 1656-1688) ditandai oleh  ketertarikan yang luar biasa terhadap dunia luar. Ketertarikan ini diekspresikan dalam berbagai bentuk: ketritunggalan perdagangan, perang dan diplomasi berperan penting di sini; namun, aspek pribadi seperti ketertarikan Raja Narai terhadap pengetahuan asing dan budaya material juga sama pentingnya. Kepribadian raja dan pengaruh orang asing lainnya di lingkungan istana, khususnya orang Moor, Cina, dan Prancis, menjadi ancaman bagi posisi istimewa Belanda yang sampai saat itu masih berlaku. 

Selama pemerintahan Narai, perselisihan antara kedua kekuatan itu menjadi semakin nyata, seperti misalnya VOC mencoba memaksakan pengaruh diplomatik dan politiknya ke seluruh Asia dan mengekang perdagangan laut Siam. Hal ini memicu kompetisi perniagaan terhadap kendali perdagangan Asia Timur, yang menimbulkan adanya blokade laut oleh Belanda di mulut sungai Chao Phraya. Pemblokadean ini juga melibatkan penangkapan perahu-perahu jung dari Jepang dan Cina yang berlayar ke Siam. Blokade tersebut akhirnya sudah dibereskan oleh penetapan kontrak perdangan tahun 1664 antara kerajaan Siam dan duta besar VOC, Pieter de Bitter.[4] Kontrak pertama Belanda-Siam tersebut menjelaskan hak istimewa perniagaan VOC dan mengenalkan konsep baru tentang hak kekebalan dan hak ekstrateritorial untuk  orang-orang Kompeni di Siam.[5] Walaupun begitu, hak istimewa ini berlawanan dengan persepsi Siam, bahwa semua tanah dan rakyat di Siam adalah tunduk pada otoritas Raja. Hak istimewa Belanda pada kenyataannya jauh dari absolut, dan mereka protes terus-menerus tentang pelanggaran pihak Siam atas hak-hak eksklusif dagang mereka. Hal ini kerap kali mengakibatkan kekurangan komoditas dagang yang tidak mencapai kuota yang menurut mereka tidak sesuai dengan yang dicantumkan di kontrak tahun 1664.

Kapasitas angkatan laut VOC dan kendali mereka terhadap rute laut di banyak bagian Asia membuat lingkungan istana Siam tergantung pada kerjasama VOC. Di saat yang bersamaan, Kompeni harus menahan ambisi maritim Siam.Seperti yang telah kita lihat, Belanda telah berhasil menggunakan angkatan laut mereka untuk memaksakan konsesi perniagaan dari Raja Narai.Baik mereka dan orang Eropa lainnya di Siam Narai telah menguatkan kendali atas perairan Asia yang menantang gagasan mare liberum atau kemerdekaan atas laut dan navigasi bumiputra Asia yang ada.Selain itu, konsesi tersebut juga mengatur perizinan jalan ke area-area penting, Siam sering membutuhkan kapal-kapal Kompeni untuk menghubungkannya dengan dunia luar.

Isi surat tertanggal 27 Januari 1683 menunjukkan bahwa Belanda tidak kehilangan kesempatan untuk memberi tahu Siam tentang area yang lebih luas di kepulauan Indonesia. Wilayah ini di bawah pengaruh VOC, baik langsung ataupun tidak, seperti Mataram, Cirebon, Jepara, Jambi, Palembang dan Banten.Kerajaan Siam juga mengetahui bahwa Kompeni dan pedagang asing lainnya memiliki keistimewaan di perdagangan komoditas-komoditas penting seperti tekstil, opium, dan rempah-rempah di wilayah-wilayah tersebut. Pengecualian terhadap wilayah Jambi, yang Phrakhlang berpendaat dengan diplomatiknya bahwa Jambi seharusnya dianggap sebagai pengikut Siam karena kesukarelaannya menyatakan itu ke Ayutthaya. Kasus Jambi ini kompleks, bagaimanapun juga, karena Jambi bersumpah untuk setia pada VOC dan raja Siam.

Dua peristiwa selanjutnya juga dialamatkan di surat ini. Sorotan terhadap kealamiahan konflik kebijakan Belanda terhadap Siam, ditunda karena antara ukuran diskriminasi Kompeni yang dirancang untuk mematikan aktivitas maritim Siam dan dukungannya untuk bisnis luar negeri istana. Pertama, VOC protes terhadap kerusakan tekstilnya yang diperdagangkan di Cirebon disebabkan oleh utusan Narai menjual banyak bahan yang sebenarnya memiliki misi untuk mendapatkan kuda-kuda dari Jawa. Memiliki keakraban dengan penggunaan kuda sebagai transportasi, peperangan, dan tujuan-tujuan upacara, lingkungan istana Siam telah memulai membeli kuda tunggangan ini dari Jawa selama masa pemerintahan Siam. Membeli kuda dari Jawa menjadi suatu isu yang membuat Siam tergantung pada VOC karena ia membutuhkan Belanda untuk mengizinkan kapal-kapal mereka mengakses pelabuhan-pelabuhan Jawa, tempat mereka membeli kuda dan mentransportasikannya ke Siam.[6]

Yang kedua, kantor dagang VOC di Ceylon (sekarang Sri Lanka) telah menyediakan bantuan materi dan finansial untuk awak kapal raja Narai yang telah dihancurkan di pantai Ceylon pada saat berdagang ke Persia. Menyusul insiden ini, Belanda protes bahwa kargo Siam untuk Persia membahayakan bisnis mereka. Sama halnya dengan kasus pembelian kuda-kuda Jawa, mereka meminta Siam untuk bergantung pada servis mereka untuk semua destinasi di timur Burma, seperti Surat, Persia, Bengal, Masulipatnam, dan Mokka.

Terlihat jelas bahwa VOC berusaha memenangkan kompetisi dari pedagang-pedagang Asia, termasuk Siam.Hal ini bisa dilihat dari instruksi yang disusun tahun 1685 oleh mantan direktur perdagangan Aarnout Faa, mengungkapkan betapa banyak kendali VOC yang dipercaya, atas perhubungan laut Siam di wilayah-wilayah luar bagian Nusantara yang ditengarai di bawah pengaruh VOC baik langsung maupun tidak: kepala pedagang memberikan instruksi ke penerusnya untuk mengizinkan raja Siam memasuki kawasan Luzon Utara, Kamboja, Cochin Cina, Tongkin, Kanton, Jepang, Pahang, Riau, Johor, Malaka, Koromandel, Bengal, Surat, dan Persia. Kapal-kapal raja ke Jawa Barat harus bersandar di Batavia dan tidak diizinkan untuk mengangkut tekstil untuk dijual disana. Secara signifikan, Kompeni menghalangi Siam lewat dari Formosa Coxinga, dan juga Indragiri, Jambi, dan Palembang, yang VOC menyatakan mereka adalah teman berdagang satu-satunya berdasarkan kontrak mereka dengan wilayah-wilayah tersebut.[7]

Melawan diskriminasi Belanda semacam itu yang dibungkus dengan tawaran bantuan, Phrakhlag mengajukan hak-hak Siam untuk memasuki wilayah-wilayah tersebut dengan hak-hak sendirinya, memaksa pada ketidakmampuan Belanda memilih komoditas yang bagus untuk pasar Siam dikarenakan perbedaan budaya. Sebagai balasannya, Siam juga mencoba untuk menakuti Belanda, menyatakan kepedulian untuk keselamatan mereka dari kejahatan orang local, dari perdagangan di wilayah mereka bagian selatan: Thalang, Bangkhli, dan Takuathung. Lebih awal lagi di tahun 1640-an, VOC telah mencoba untuk memonopoli produksi timah di jazirah Melayu dengan menandatangani kontrak-kontrak dengan kepala-kepala tempat produksi timah termasuk Phuket dan Bangkhli. Perdagangan timah di daerah ini pernah menorehkan sejarah hebat dan Belanda dipaksa menjawab tantangan yang kuat dari semua pihak dari para elit local, orang Melayu, Moor, Cina, dan kemudian pemerintahan Raja Narai, baik Inggris dan Prancis, semua yang ditikung , melawan raktek-praktek monopoli Belanda.[8] 

Surat tertanggal 27 Januari 1683 memberikan pandangan yang bagus mengenai hubungan kompleks antara VOC dan lingkungan istana Siam baik semasa pemerintahan Raja Narai dan penerus-penerusnya. Meskipun fakta bahwa kedua pihak secara sporadic terlibat dalam konflik perniagaan, VOC tetaplah menjadi teman berdagang dan berdiplomasi untuk Siam. Walaupun Belanda mencoba membatasai perdagangan maritim Siam untuk keuntungannya sendiri, mereka tetaplah memainkan peranan penting dalam kontribusi ekspansi dunia Raja Narai.

-----

[1] Untuk lebih detail mengenai fase awal hubungan Siam-Belanda dan gambaran keberadaan VOC di Ayutthaya, lihat Han ten Brummelhuis, Merchant, Courtier and Diplomat: A History of the Contacts between The Netherlands and Thailand (Lochem-Gent: De tijdstroom, 1987)..

[2] Dhiravat na Pombejra, ‘Crown Trade and Court Politics in Ayutthaya during the Reign of King Narai, 1656-1688’, dalam Kathirithamby-Wells, J. and Villiers, John (eds.), The Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise (Singapore: Singapore University Press, 1990), hlm. 127-42, di sini hlm. 133

[3] Untuk sejarah, struktur, dan pegawai dari Prhakhlang Sinkha, lihat Kennon Breazeale, ‘Thai Maritime Trade and the Ministry Responsible’, in idem (ed.), From Japan to Arabia: Ayutthaya’s Maritime Relations with Asia (Bangkok: The Foundation for the Promotion of Social Sciences and Humanities Textbooks Project, 1999), hlm. 1-54.

[4] Untuk lebih detail dan debat mengenai peristiwa blokade angkatan laut Blanda dan penandatanganan kontrak yang mengikuti pada tahun 1664, lihat Dhiravat na Pombejra, ‘The Dutch-Siamese Conflict of 1663-1664: A Reassessment’, Dalam: Blussé, Leonard (ed.), Around and About Formosa: Essays in Honor of Professor Ts’ao Yung-ho (Taipei: Ts’ao Yung-ho Foundation for Culture and Education, 2003), hlm. 291-306.

[5] Teks berbahasa Belanda dari kontrak 1664 terdapat di Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, 6 jilid., ed. J. E. Heeres and F. W. Stapel (The Hague: Martinus Nijhoff, 1907-1955), II, 280-5. (Selanjutnya disebut: Corpus Diplomaticum.) Terjemahan Bahasa Inggris tahun 1886 oleh Menteri Urusan Luar Negeri Siam telah diterbitkan di George Vinal Smith, The Dutch in Seventeenth-Century Thailand (Illinois: Centre for Southeast Asian Studies Special Report 16, 1977), hlm. 138-41.

[6] Dhiravat na Pombejra, ‘Javanese Horses for the Court of Ayutthaya’, dalam: Greg Bankoff, et al, Breeds of Empire: the ‘Invention’ of the Horse in Southeast Asia and Southern Africa 1500-1950 (Copenhagen: NIAS Press, 2007), hlm. 65-81, di sini 72-74

[7] VOC 1407, Memorie van Faa zaliger aan Keyts [Memori yang ditinggalkan almarhum Faa kepada Keyts], 15 Jan. 1685, fo. 3215r-v. Sebetulnya, Zheng Jing, cucu dan penerus Zheng Chenggong, telah dikalahkan tahun 1683.

[8] Dhiravat na Pombejra, ‘Towards a History of Seventeenth-Century Phuket’, dalam Sunait Chutintaranond dan Chris Baker (eds.), Recalling the Local Pasts: Autonomous History in Southeast Asia (Chiang Mai: Silkworm Books, 2002), hlm. 89-126.

Bhawan Ruangsilp dan Hendrik E. Niemeijer, “Surat berasal dari Phrakhlang atas nama Raja Siam Narai (berkuasa, 1656-1688) ditujukan kepada Pemerintah Agung, 27 Januari 1683 dan sebuah jawaban dari Batavia 11 Mei 1683”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Europa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 18. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2016.