Surat Raja Bone, La Patau Paduka Sri Sultan Indris Azim ud-din (memerintah 1696-1714) dan Sira Daeng Talele Karaeng Ballajawa kepada Pemerintah Agung, 1697

Kata Pengantar oleh Leonard Y. Andaya, Professor of Southeast Asian History at the University of Hawaii at Manoa

Download the full article in PDF

L.Y. Andaya, “Surat Raja Bone, La Patau Paduka Sri Sultan Indris Azim ud-din (memerintah 1696-1714) dan Sira Daeng Talele Karaeng Ballajawa kepada Pemerintah Agung, 1697”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 17. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2014.

 

OLEH L. Y. ANDAYA

Surat ditulis oleh keponakan yang juga meng­gantikan Arung Palakka La Tenritatta, Matinroé ri Bontualak (m. 1672-1696) yang terkenal, La Patau (Matinroé ri Nagauleng (m. 1696-1714), dan merupakan istri utama Arung Palakka, yaitu putri Sira Daeng Talele Karaeng Ballajawa. Ditulis tidak lama menyusul kematian Arung Palakka, surat ini merujuk pada sebuah pertikaian lama antara Datu Soppeng To-Ésang dan Arung Palakka. Menyusul kematian Datu Soppeng La Tenribali di tahun 1678, putra keduanya, To-Esang menduduki tahta oleh karena abangnya yang juga merupakan pewaris tahta, meninggal di usia muda di tahun 1669 pada penghujung perang Makassar. La Tenribadli sangat meragukan kemampuan putra keduanya, dan Arung Palakka melakukan segala hal untuk menghalangi putra tersebut berkuasa di Soppeng. To-Ésang  memanfaatkan kematian Arung Palakka di tahun 1696 untuk menggeser penguasa Soppeng ketika itu, Datu ni Watu (dalam surat disebut “Datoe Dijwasoe” dan “Dato Dijwatoe”) dan kemudian mengangkat dirinya sendiri sebagai penguasa Soppeng. Selanjutnya surat ini menuturkan sejumlah peristiwa yang berujung pada kampanye yang dilancarkan La Pata yang berhasil mengalahkan To-Ésang  dan kemudian mengembalikan Datu Riwatu ke tahta Soppeng.

Arung Palakka dan rakyat  Bugis

Di akhir abad ke enam belas, kerajaan Makassar Gowa yang terletak di bagian Barat Daya semenanjung pulau Sulawesi di Indonesia berkembang menjadi kekuatan besar di kawasan tersebut. Pada pertengahan pertama abad ke tujuh belas, kerajaan tersebut berhasil memasukkan banyak kerajaan di Indonesia Timur di bawah kekuasaannya, dan menguasai kegiatan perdagangan menguntungkan yang memperjualbelikan cengkeh, pala serta bunga pala yang berasal dari Maluku Utara. Sesudah Gowa memeluk agama Islam di tahun 1605, kerajaan ini mulai melancarkan apa yang dikenal sebagai rentetan “Perang Islam” yang berhasil memaksa sejumlah kerajaan non-Muslim di jazirah tersebut untuk juga memeluk agama Islam. Rentetan perang tersebut berakhir di tahun 1611 dengan penaklukan serta pengislaman Bone, yaitu kerajaan Bugis paling berkuasa ketika itu. Rakyat Makassar dari Gowa kemudian ditengarai oleh orang Bugis sebagai penjajah mereka, dan di pertengahan abad ke tujuh belas banyak orang Bugis yang berasal dari sejumlah kerajaan Bone dan Soppeng dihimpun di kota Makassar untuk membangun sejumlah kubu sebagai persiapan menghadapi serangan yang ditakutkan dari Kompeni (VOC). Perlakuan keras dan kasar terhadap buruh paksa Bugis tersebut , ditambah dengan stigma yang dikaitkan dengan pengislaman paksa yang terjadi sebelumnya di abad tersebut, melahirkan fenomena Bugis terkenal yaitu sirik: sebuah pandangan di Sulawesi Selatan yang lazim dimaknai sebagai rasa “malu”. Dalam pengertian ini, pemulihan harga diri seseorang yang seringkali dilakukan dengan paksa diyakini akan menghapus rasa malu tersebut. Di antara orang Bugis yang dibawa ke Makassar sebagai buruh terdapat Arung Palakka, seorang keturunan ningrat dari Soppeng. Bersama sejumlah pengikutnya, beliau berhasil melarikan diri dari Makassar; mula pertama mereka ke Buton sebelum akhirnya mencari suaka di Batavia, pusat VOC dan di tempat itu mereka disambut serta diberikan sebuah kawasan permukiman di luar kota yang dikenal dengan nama Angke; itu sebabnya orang Bugis di tempat itu juga dikenal sebagai To-Angke yaitu orang dari Angke”. Sementara hidup dalam suaka di Batavia, Arung Palakka beserta orang Bugis para pengikutnya dipekerjakan sebagai serdadu tambahan dalam aksi-aksi militer di pesisir Barat Sumatra yang kemudian berhasil melenyapkan cengkraman orang Aceh atas permukiman Minangkabau di tahun 1666. Keberanian serta kesetiaan orang Bugis dicatat oleh pihak Belanda, sehingga ketika mereka merencanakan sebuah serangan terhadap pelabuhan Makassar di kerajaan Gowa, yang merupakan saingan utama VOC, Belanda mencari dan memperoleh dukungan dari Arung Palakka. Arung Palakka menjadi sangat dihormati oleh orang Bugis, dan ketika kembali bersama armada Belanda, beliau berhasil membujuk banyak pejuang Bugis untuk bergabung ke pihaknya sehingga mereka, para penyerang, memperoleh kemenangan. Kendati didukung bantuan besar dari para pejuang Gowa bersama, mereka akhirnya dikalahkan untuk pertama kali di tahun 1667, dan akhirnya untuk kedua dan terakhir kali di tahun 1669; dan dengan demikian berakhir pula Perang Makassar yang berkepanjangan (1666-1669).

 

Latar Belakang terkait Isi Surat

Surat ini merujuk pada Perjanjian Bungaya yang menutup tahap pertama Perang Makassar di tahun 1667, yaitu ketika rakyat Bugis memperoleh kembali harga diri mereka, dan dengan demikian juga menghapus beban menanggung sirik. Hadiah tak ternilai yang diberikan kepada orang Bugis oleh pihak Belanda menyebabkan mereka tetap setia tak tergoyahkan pada VOC seperti yang diperlihatkan Arung Palakka dan penggantinya, La Patau sepanjang hidup mereka. Ketika Arung Palakka menduduki tahta kerajaan Bone di tahun 1672, beliau menjadi pemimpin yang tidak diragukan lagi bagi seluruh jazirah Sulawesi dan beliau dijamin mendapat dukungan menyeluruh dari pihak Belanda. Barang siapa pun yang ditengarai tidak setia terhadap beliau, digeser dari kekuasaan, dipaksa untuk melarikan diri ke luar kawasan atau dihukum. Akibatnya, terjadi gelombang pelarian besar-besaran dari Sulawesi dan banyak di antara mereka digeser dari jabatannya di sejumlah kerajaan di nusantara ketika itu. Rujukan terkait menurunkan  To-Ésang sebagai penguasa Soppeng oleh Arung Palakka adalah salah sebuah contoh yang mencerminkan keadaan dalam kurun waktu bersangkutan. Kematian Arung Palakka di tahun 1696 membuka peluang bagi mereka yang sebelumnya dikucilkan atau digeser untuk menuntut pengakuan kembali. Usaha To-Ésang untuk memperoleh tahta Soppeng menjadi pokok persoalan surat ini, beserta penjelasan panjang lebar yang diberikan oleh La Patau and Daeng Talele, yaitu mereka yang paling dekat dengan Arung Palakka, dan dapat dinilai sebagai contoh terkait cara mereka berdua berusaha mempertahankan warisan Arung Palakka di jazirah tersebut. Sepanjang masa kekuasaannya, La Patau dihadapkan pada sejumlah tantangan seperti yang diuraikan dalam surat ini, yang berhasil diatasinya dengan dukungan menyeluruh dari pasukan serta pemerintah Belanda yang berkedudukan di Benteng Rotterdam di Makassar.

 

Pustaka tambahan yang disarankan

Andaya, Leonard Y.  The Heritage of Arung Palakka:  A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century.  The Hague:  Martinus Nijhoff, 1981.

Andaya, Leonard Y.  Warisan Arung Palakka:  Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17.  Makassar:  Ininnawa, 1st printing 2004, 2nd printing 2006.

Cummings, William (tr. & ed.).  The Makassar Annals.  Leiden, KITLV Press, 2010.

Gibson, Thomas. “The Sea King and the Emperor”.  Chapter 7 in Gibson, And the Sun Pursued the Moon:  Symbolic Knowledge and Traditional Authority Among the Makassar.  Honolulu:  University of Hawai’i Press, 2005.

L.Y. Andaya, “Surat Raja Bone, La Patau Paduka Sri Sultan Indris Azim ud-din (memerintah 1696-1714) dan Sira Daeng Talele Karaeng Ballajawa kepada Pemerintah Agung, 1697”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 17. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2014.