Surat dari Sultan Maguindanao Kuda (1699-1702) perihal Kegiatan perdagangan para Nakhoda Cina serta Kebutuhan mendapat Dukungan Militer, 16 November 1699

Kata Pengantar oleh Ruurdje Laarhoven, lecturer at Hawaii Pacific University

Download the full article in PDF

Ruurdje Laarhoven, “Surat dari Sultan Maguindanao Kuda (b. 1699-1702)  perihal kegiatan perdagangan para nakhoda Cina serta kebutuhan mendapat dukungan militer, 16 November 1699”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 16. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2014.

 

OLEH RUURDJE LAARHOVEN

Dewasa ini Maguindanao adalah salah satu provinsi yang terletak di pulau Mindanao di Filipina Selatan. Mayoritas penduduk provinsi ini memeluk agama Islam,

Sebagai sebuah kesultanan, Maguindanao mengalami masa kejayaan selama abad ke 17 ketika diperintah oleh dua orang sultan secara berturut-turut yaitu Sultan Kudarat (1619-1671) dan Sultan Barahaman (1671-1699) yang memerintah dengan sikap tegas. Mereka berdua adalah pemimpin yang memiliki ketrampilan diplomatik yang mereka pergunakan untuk saling memainkan para ekspansionis Eropa yaitu bangsa Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda; dan mereka berhasil menjalankan perdagangan yang menguntungkan dengan dukungan dari pengikutnya. Kedua  sultan berhasil melebarkan wawasan kekuasaannya dengan membangun kerjasama dengan para datu petinggi, yaitu para pemimpin setempat, dan dengan demikian menambah jumlah pengikutnya. Melalui jaringan kerjasama tersebut, mereka menerima upeti dalam bentuk hasil pertanian, kehutanan serta hasil kelautan serta juga para budak sehingga mereka mampu memupuk kekayaan serta memperkuat wibawa mereka.

Agama Islam Masuk

Berdasarkan yang tertulis dalam tarsila yaitu catatan silsilah kalangan atas Maguindanao, dapat diketaui bahwa agama Islam mulai diperkenalkan di kawasan Mindanao selatan oleh syarif Muhammad Kabungsuwan yang tiba berkat bantuan pelaut Samal dari Johor, sekitar tahun 1515. Ayahanda beliau adalah seorang syarif dari Arab yang menikah dengan seorang putri ningrat dari Johor.1 Sjarif Kabungsuwan dikenal sebagai orang yang telah mengukuhkan serta menyebarkan agama Islam di Mindanao, kendati mungkin saja ada sejumlah ulama dan ustad dari Ternate yang telah bermukim lebih dahulu di tempat itu. Beliau menikah dengan seorang dari keluarga kerajaan setempat yang sudah mapan. Ketika Kumpeni VOC berinteraksi dengan para petinggi Mindanao, seperti yang mulai dilakukan oleh Matelief di tahun 1607, diketahui bahwa agama Islam sudah dianut serta dilaksanakan oleh penduduk kawasan Sibugay hingga Sarangany serta di sekitar Teluk Davao serta kepulauan yang terletak lebih di selatan.  

 

Para Pesaing yang memperebutkan tahta sultan?

Ketika Sultan Barahaman meninggal pada tanggal 6 Juli 1699, beliau digantikan oleh adiknya yang berambisi besar, Sultan Kuda (berkuasa. 1699-1702) Sultan Kuda mengirim sepucuk surat ke Batavia, tertanggal 16 November 1699. Surat yang ditandatangani oleh dua mentrinya itu disimpan dalam Catatan Harian Kastel Batavia pada tanggal 21 Juli 1700 sebagai sebuah surat diplomatik. Seperti dapat dibaca dalam surat tersebut, Sultan Kuda menyatakan dirinya telah menggantikan abangnya menyusul wafatnya Sultan Barahaman pada tanggal 6 Juli 1699. Disayangkan bahwa Raja muda yang merupakan putera mahkota atau ahli waris sultan meninggal beberapa minggu sebelumnya yaitu pada tanggal 18 Juni, 1699.2

Lima saudara Raja muda yang semuanya adalah putra-putra Sultan Barahaman, semuanya menyatakan berhak untuk menggantikan ayahanda mereka. Kendati Sultan Kuda bersikap tidak bersahabat dengan abangnya untuk waktu cukup lama, beliau diharapkan akan berubah sikap serta melunak menyusul kematian abangnya. Namun, berlawanan dengan harapan tersebut, beliau justru menjadi tidak sabar, mudah marah dan bersikap bagaikan raja. Beliau melakukan sebuah kesalahan politik ketika melancarkan “sebuah cara baru untuk mengumpulkan dana” yaitu dengan mengharuskan rakyat membayar pascedule3 apabila mereka hendak pergi dari kota. Rakyat menolak sikap ketat beliau yang hanya menguntungkan beliau sendiri, dan kemudian beliau ditinggalkan oleh para pandita, ulama, datu, shahbandar bersama pengikut mereka dan mereka mendirikan sebuah unit politik baru bersama beberapa putra almarhum Sultan Barahaman.4 Datu Bayan ul-Anwar, putra tertua yang seyogyanya merupakan ahli waris menyusul wafatnya Sultan Barahaman, menentang perebutan kekuasaan yang dilakukan pamannya dan menolak menghormati ataupun memberi upeti kepada beliau. Salah seorang istri Datu Bayan adalah putri ipar Sultan Sulu, dan seorang istrinya yang lain adalah putri raja Buaya yaitu Sultan Bayan ul Anwar yang kemudian menggunakan jaringan hubungannya untuk mengganggu pamannya, dengan kesudahan bahwa Sultan Kuda akhirnya ditikam wafat dengan keris oleh Sultan Sulu.5

Melalui sejumlah hubungan dengan pihak luar, para datu Maguindanao telah memperkuat kekuasaan mereka. Kawasan pedalaman Buayan serta pesisir Maguindanao memiliki berbagai macam alam yang berlawanan namun saling melengkapi serta menguntungkan. Pada setiap generasinya, anggota keluarga mereka saling menikah sehingga seperti pernah dikatakan oleh Sultan Kudarat “kedua kerajaan tersebut bagaikan suami dan istri”. Ketika salah seorang penguasa mereka meninggal, perihal warisan tahta seringkali mengakibatkan perselisihan. Seperti yang terjadi di tahun 1699 dan juga di tahun 1702. Sultan Kuda tidak mengetahui pasti apa yang telah disampaikan kepada Kumpeni. Siapa pun yang dapat menguasai jaringan keturunan di sa-raya (Buayan) dan di sa-ilud (Maguindanao) akan berada di puncak sistem sosial-ekonomi-politis yang sangat berkuasa.

Sultan Kuda adalah seorang yang pandai serta berpengetahuan dan fasih berbahasa Cina dan Spanyol, dan juga menguasai sedikit bahasa Belanda dan Inggris. Sebagai seorang Kapitan Laut, beliau menangani semua persoalan yang berkaitan dengan laut selama masa hidup Sultan Barahaman dan dalam jabatan tersebut beliau dapat memperkaya diri sendiri Kapten de Roy dari VOC telah memastikan kebenaran dari apa yang dibangga-banggakan Sultan terkait kepemilikan banyak meriam tembaga yang disembunyikan di Zamboanga. Pesuruh yang diutus de Roy menemukan tujuh meriam besi dan sebuah meriam logam di sepanjang dermaga dan di parit-parit di tepi sungai, semuanya berjumlah hampir 100 meriam dari kuningan.6 Para penguasa Maguindanao sejak dulu selalu berusaha mendapatkan piranti keras dengan cara apa pun. Itu sebabnya mereka meminta tambahan dua meriam dan sejumlah senjata, seperti tertera dalam dokumen ini.

Mindanau sebagai Kawasan Penyanggah

Sepanjang abad ke 17, para perwira Belanda serta perwakilan VOC cukup sering berkunjung ke Maguindanao. Orang-orang Belanda datang untuk berdagang, namun dengan alasan tambahan yaitu untuk memata-matai serta menilai situasi dari sudut pandang sosial-politik. Mereka tidak memercayai sultan dan begitu pula sebaliknya. Hingga tahun 1663, bangsa Spanyol menguasai sebuah benteng di Zamboanga yang terletak di sisi paling barat Mindanao. Mereka mengosongkan benteng tersebut ketika diperintahkan untuk kembali ke Manila karena bangsa Spanyol terancam akan diserang oleh armada milik perompak Cina terkenal Coxinga. Mereka kembali ke benteng tersebut di tahun 1718. Keberadaan bangsa Spanyol senantiasa ditengarai sebagai ancaman serta bahaya. Ancaman bagi orang Maguindanao yaitu bahwa mereka akan ditaklukkan seperti penduduk di pulau-pulau di utara mereka. Bahaya bagi VOC yang berjuang mati-matian untuk memertahankan monopoli di kawasan Maluku.

Demi kepentingan mereka sendiri, penduduk Maguindanao harus menjaga agar bangsa Belanda tetap berada di Ternate dan mereka harus melindungi kemerdekaan mereka dari serbuan Spanyol atau Belanda. Bagi pihak Belanda, Mindanao berfungsi sebagai penahan antara Manila yang dikuasai Spenyol dan Maluku yang dikuasai Belanda. Oleh karena itu, perlu ditekankan bahwa Sultan Kudarat telah memberikan keuntungan kepada rakyatnya serta beberapa generasi sesudahnya dengan memangkas semua pohon rempah-rempah yang terdapat di kawasannya dan melarang penduduk menanamnya7 Orang-orang Belanda secara teratur memeriksa persediaan pala dan cengkih, dan dengan berlindung di belakang sejumlah alasan mereka pergi masuk ke pedalaman atau pergi dengan sampan sambil menanyai penduduk. Kekhawatiran mereka tidak beralasan sebab sudah dipastikan bahwa tak ada pohon rempah di sana.8

 

Belanda mengamati Maguindanao

Kapten Belanda, Cornelis Claasz Silver menyaksikan sejumlah peristiwa ketika berlabuh di depan rumah Sultan di Sungai Simuoy dari Juni hingga November, 1699.9 Beliau diundang untuk hadir ketika Sultan Kuda dikukuhkan; upacara tersebut digambarkannya sebagai suatu peristiwa yang sarat dengan kemegahan serta ritual seremoni. Kehadiran kapten berbangsa asing tersebut diyakini telah menaikkan pamor upacara itu dan itu sebabnya Sultan Kuda menyampaikan kegembiraan paduka terhadap Kapten Cornelis Claasz seperti tertuang dalam sebuah surat yang dikirimkan ke Batavia.  

Selama kunjungan yang kemudian dilakukan oleh beberapa pejabat VOC, yaitu Kapten Paulus de Brievings dan perwira infanteri Jacob Cloeck, sejumlah pengamatan tambahan disampaikan ke Batavia. Kedua perwira tersebut berada di pelabuhan Maguindanao dari tanggal 6 Juli hingga 1 Oktober 1700, dan mereka menyelidiki kawasan bersangkutan dengan sangat cermat. Mereka menghitung ada 43 datu yang menyerahkan upeti atau menyembah sujud kepada sultan. Mereka berdua juga menghitung keberadaan pasukan yang terdiri dari sebanyak 59.650 tentara yang tangguh yang dapat direkrut sultan apabila diperlukan.10 Maguindanao juga merupakan tempat aman bagi tentara yang membelot serta mereka yang lari dari kapal, dan semua orang yang berkunjung ke sana diusahakan agar tidak meninggalkan tempat tersebut. Terutama orang-orang Cina yang dirayu agar menikahi wanita setempat sehingga meningkatkan jumlah penduduk.

Memanglah, informan terbaik bagi orang Belanda adalah orang-orang Cina yang tinggal di Maguindanao. Seringkali mereka mengeluhkan betapa dipaksa tunduk pada hukum dan peraturan yang ketat serta dilarang untuk berdagang dengan orang Belanda. Akan tetapi, orang Cina memang berani mengambil risiko dan mereka melanggar peraturan tersebut. Perdagangan ilegal jamak dilakukan orang Cina. Mereka melakukan kegiatan perdagangan seara sembunyi ketika magrib. Apabila mereka curiga bahwa orang yang memanggil mereka dari sebuah kapal akan membocorkan transaksi perdagangan bersangkutan, maka mereka memaksa agar bahan malam yang digunakan untuk membuat kain itu diberikan melalui jendela kabin.11

 

Pelabuhan dan Perdagangan

Kawasan pelabuhan Maguindanao terletak secara strategis di muara sungai Pulangi, yaitu sungai terbesar di Mindanao serta di sejumlah anak sungainya. Dengan demikian merupakan tempat baik bagi lalu lintas kapal serta pembangunan kapal, pencarian ikan dan di samping itu terdapat banyak sumber air. Hasil produksi dari kawasan pertanian di pedalaman Pulangi yang makmur terutama terdiri dari beras, tembakau, malam serta bahan pangan yang diangkut oleh pedagang eceran dan besar. Dari kawasan pegunungan di selatan sungai dan terutama dari kawasan Teluk Davao, ribuan pon malam lebah dan ikatan tembakau dikumpulkan setiap tahun dengan pembayaran tunai atau dibarter dengan kain impor serta barang-barang asing lainnya yang diperoleh melalui perdagangan. Selama sebagian besar abad ke 17, ekspedisi perdagangan tahunan dilakukan oleh sultan sendiri, dan dengan seizin beliau para anggota keluarga raja serta marga para datu mengutus kapal-kapal jenis jung mereka hingga sejauh India, Malacca, Siam, Johor, Jawa, Sumatra, Borneo dan Sulawesi. Sementara banyak kapal berukuran lebih kecil setiap tahun berlayar ke Manila dan Ternate dan seringkali kapal-kapal tersebut dibantu oleh para nakhoda, mualim kapal yang berasal dari masyarakat Cina.

Muatan yang diangkut kapal-kapal dari Maguindanao ke sejumlah pusat perdagangan regional yang lebih besar terdiri dari, selain malam lebah dan beras dalam jumlah besar, juga ribuan ikat tembakau, kayumanis jenis kedua, minyak kelapa, kulit batang pohon cengkeh, kulit penyu, teripang, rumput laut, sarang burung dan juga budak-budak.12 Dalam perjalanan pulang, mereka terutama mengangkut aneka ragam kain India seperti tekstil Guinee, dan tekstil India yang lain (bafta, salempuri, muri, chintz, betille, chelas),13. Selain itu seringkali juga benda-benda dari besi, kuningan, logam bekas, meriam dan senjata yang banyak dicari orang. Kapal-kapal jenis jung dari Cina mengangkut kain sutra serta barang-barang gerabah.14 Setiap tahun, lalu lintas yang sangat padat dilakukan antara Cina (Ch’uan Chou, bahasa Hokkian), Manila dan Maguindanao.15 Sekitar tahun 1700, jumlah masyarakat Cina di Maguindanao sudah bertambah banyak, sesudah Belanda menerapkan monopoli terhadap perdagangan rempah-rempah di Maluku. Banyak orang Cina yang kemudian meninggalkan Ternate dan pindah ke Mindanao.16

 

Monopoli perdagangan malam dan para pedagang Cina

Sarangani merupakan pusat perdagangan komoditi malam lebah, dan di tempat itu Sultan Maguindanao menerapkan hukum serta peraturan ketat. Orang luar dilarang ke sana untuk berdagang. Sejak tahun 1660-an, kesultanan Maguindanao menerapkan monopoli terkait malam yang masih berlaku hingga tahun 1699.17 Hanya orang Cina yang dikenal Sultan serta orang Sarangani yang diperbolehkan memperdagangkan malam lebah sebanyak 500 kati18,  dan tidak lebih.19 Perdagangan yang dilakukan tanpa izin sultan diancam hukuman mati dengan pemenggalan kepala. Sarangani merupakan lumbung Sultan dan gudang tempat penyimpanan barang-barang dagangan beliau.

Di Maguindanao, menjadi kebiasaan bagi semua nakhoda serta mualim kapal untuk singgah pada sultan sebelum mereka pergi dan mereka juga menerima berbagai perintah untuk melakukan sesuatu bagi beliau atau anggota rumah tangga kesultanan seperti mengantar surat atau pesan serta membawa hadiah. Apabila kebiasaan tersebut diabaikan, maka yang bersangkutan dapat dibunuh; mujur hal itu tidak terjadi pada orang Cina berdarah campuran bernama Loanko yang disebut dalam dokumen yang kami bahas; beliau diberi pengampunan.

 

Aneka petualangan seorang Cina peranakan

Kendati semua peraturan diberlakukan oleh para sultan Manguindanao sejumlah peristiwa tetap terjadi secara cukup sering. Menurut dokumen yang kami bahas, terjadi sebuah peristiwa di bulan Juli atau awal Agustus 1688. Pada waktu sultan menulis surat ke Batavia di tahun 1699, peristiwa bersangkutan masih diingat dan belum dipecahkan. Seorang Cina peranakan dari Jepara, bernama Tuwanko (dalam surat ditulis Loanko) pergi meninggalkan tempat dengan menggunakan gonting, yaitu sebuah kapal barang Jawa kecil dengan membawa pascedule atau surat izin yang dikeluarkan Kumpeni di Semarang untuk berlayar ke Pasir di Borneo Tenggara, untuk mengumpulkan malam. Kapal bersangkutan milik para kapten Cina Pinco dari Jepara dan Kohanco (Concua dalam surat) dari Semarang. Awak kapal terdiri dari delapan orang Cina: Saowanko, Ompo, Tsjonko, Tjejwko, Tiepko, Inko, Hayko, dan Tsjin serta dua orang Jawa: Aowangsa dan Marompang. Akibat angin kencang bertiup ke arah berawanan dab mungkin juga akibat kurang memahami arah, jurumudi mereka, Saowanko, membawa mereka ke pesisir Manguindanao sesudah, berlayar lebih dari dua bulan.

Ketika Sultan Barahaman mendapat tahu tentang pelanggaran tersebut, beliau memerintahkan agar awak kapal gonting  didatangkan di Simuay dan mereka ditanya untuk menunjukkan izin berlayar mereka; ternyata izin mereka adalah untuk pergi ke Pasir, dan sebab itu Hayko yang dapat menulis, menyiapkan izin lain yang berlaku untuk Sarangani. Sultan menerima baik hal tersebut dan menjamin keamanan para orang Cina. Sementara itu, Tuwanko sudah mengumpulkan 100 pikul malam dan 3 pikul kulit penyu. Untuk itu dia membelanjakan separuh modalnya senilai kurang lebih 15 – 1600 ringgit. Sultan merampas semua kain India yang ditaksir bernilai 727 ¼ ringgit. Abang sultan yang kemudian menjadi Sultan Kuda meminjam malam yang dibawa Tuwanko dan meminjamkan sebuah kapal jenis korakora yang dapat dipakai Tuwanko untuk berlayar ke Manila, tempat malam bersangkutan akan dijual. Harga sepikul malam di Sanagani jauh lebih rendah dari di Manila, jadi dengan demikian sultan mendapat untung. Beliau menyuruh Tuwanko untuk mengutip sejumlah piutang sultan di Manila sebagai pembayaran malam yang sudah terlebih dahulu dibayar Tuwanko di Sarangani. Tuwanko pergi menuju Manila, tetapi menolak untuk pamit kepada sultan yang merasa tersinggug dan geram. Sultan menyita semua barang dagangan Tuwanko yang sementara itu tinggal selama satu bulan di Manila dan di tempat itu membeli kulit, emas serta uang real Spanyol, dengan menggunakan uang Sultan Kuda sementara untuk dirinya sendiri dia membeli beberapa barang kulit.

Sementara Tuwanko pergi, lima dari anak buah kapalnya yaitu Tsjonko, Tjejwko, Tiepko, Inko, dan Hayko telah menikah. Saowanko, Tsjin dan kedua orang Jawa: Aowangsa and Marompang meninggal di Maguindanao. Tuwanko menetap dan mulai membaur dengan orang-orang Maguindanao. Dia menikah dan memperoleh kepercayaan sultan dan ditengarai pernah berkata kepada Sultan “kami hanya percaya kepada Sultan dan apa pun yang diperintahkan Sultan kami akan patuhi”.20 Dengan demikian, di tahun 1691, Tuwanko dapat pergi meninggalkan tempat seizin sultan. Seorang awak kapal yang tak pernah menikah, Ompo, turut dengannya. Di antara awak kapal juga terdapat seorang Cina Ternate bernama Hieuwko, seorang budaknya dan dua orang Muslim dari pantai Coromandel di India. Mereka semua tidak punya hutang, sebab kalau ada hutang, tak seorang pun dapat memperoleh izin meninggalkan Maguindanao. Lima orang Cina yang menikah, “tetap dipelihara oleh sultan”.21

Informasi yang terdapat dalam surat sultan menunjukkan bahwa jaringan perdagangan yang ada dari Manguindanai hingga Jawa, hanya dapat berjalan dengan dukungan serta campur tangan dari penguasa setempat. Juga ditunjukkan bagaimana para peserta, seperti Tuwanko, seorang Cina Peranakan dari Jepara berkiprah dalam jaringan tersebut. Melalui kisah-kisah nyata tersebut kami dibawa lebih dekat pada dunia Asia Tenggara yang memukau, dalam hal ini Filipina bagian selatan.

 

References

Coolhaas, W. Ph. (ed.) 1960-1982. Generale Missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie, 7 volumes. The Hague: Martinus Nijhoff.

Daghregister gehouden int Casteel Batavia vant passerende daer ter plaetse als over geheel Ne­derlandts Indie. Batavia, The Hague: Martinus Nijhoff, 31 vols. 1888-1931.

Dijk, L. C. D. van, Neerland’s vroegste betrekking­en met Borneo, Den Solo-Archipel, Cambodja, Siam en Cochin-China. Amsterdam: J.H. Scheltema, 1862.

Fox, Robert B., “A Consideration of Theories Concerning Possible Affiliations of Mindanao Cultures with Borneo, the Celebes, and other Regions of the Philippines”, in : Philippine Sociological Review, January 1957, pp. 2-12.

Ileto, Reynaldo C. Magindanao, 1860-1888: The Career of Datu Utu of Buayan. Data paper, No. 82, Southeast Asia Program Department of Asian Studies, Cornell University, Ithaca, New York, October 1971.

Laarhoven, Ruurdje, Triumph in Moro Diplomacy: The Maguindanao Sultanate in the 17th Century. New Day Publishers, Quezon City 1989.

------ “The Chinese at Maguindanao in the Seventeenth Century”, in: Philippine Studies, vol. 35 (1987): pp. 31-50.

------ “We Are Many Nations: The Emergence of a Multi-Ethnic Maguindanao Sultanate”, in: Philippine Quarterly of Culture & Society, vol. 14 (1986), pp. 32-53.

------ “A Passion for Plaids: A Historical Consideration of Maguindanao Textiles”, in: Roy W. Hamilton (ed.), From the Rainbow’s Varied Hue,  pp.133-153. UCLA Fowler Museum of Cultural History Textile Series, No. 1. Los Angeles, California, USA, 1998.

 

Ruurdje Laarhoven, “Surat dari Sultan Maguindanao Kuda (1699-1702) perihal Kegiatan perdagangan para Nakhoda Cina serta Kebutuhan mendapat Dukungan Militer, 16 November 1699”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Europa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 16. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2014.