Surat Pemerintah Agung kepada Susuhunan Amangkurat II (m. 1677-1703), 20 April 1697

Kata Pengantar oleh M. C. Ricklefs, Professor Emeritus, The Australian National University

Download the full article in PDF

Paruh kedua abad ke-17 merupakan kurun waktu yang sarat dengan ketegangan antara VOC dengan keraton Kartasura. 

VOC melancarkan tindakan campur tangan di tahun 1677, ketika perang Trunajaya sedang berkecamuk, dengan mendukung dinasti Mataram dalam usaha memertahankan tahta kerajaan. Campur tangan tersebut didasari sejumlah kesepakatan, khususnya yang dibuat di bulan Februari dan Juli tahun 1677; sesuai kesepakatan itu raja diharuskan membayar kembali semua biaya yang telah dikeluarkan VOC dan juga memberikan sejumlah konsesi komersial yang menguntungkan Kompeni.    

Amangkurat II (memerintah 1677-1703) naik tahta di tahun 1677. Pada waktu itu beliau terpaksa melarikan diri bersama ayahandanya, Amangkurat I (yang wafat dalam pelarian dan dikebumikan di Tegal Wangi). Itu sebabnya maka beliau menjadi seorang raja baru tanpa keraton, tanpa kerajaan, tanpa kekayaan dan juga tanpa tentara. Dengan demikian maka campur tangan VOC sangat diperlukan ditinjau dari segi kemiliteran karena memberikan bantuan kepada raja yang pada akhirnya dapat menggalang dukungan untuk menumpas tentara Trunajaya. Amangkurat II sendirilah yang menikam Trunajaya yang tertangkap hingga meninggal di akhir tahun 1679.

Raja kemudian membangun sebuah keraton baru di Kartasura di tahun 1680. Di penghujung 1681, kebanyakan dari perlawanan yang masih ada telah dapat dikalahkan. Namun, VOC kemudian mendapati bahwa sejumlah kesepakatan yang telah dicapai di tahun 1677 tidak dipenuhi. Nampaknya, raja tidak memercayai Kompeni dan berusaha untuk membatasi pengaruh Kompeni dalam urusan dalam negerinya. Dengan demikian maka biaya yang telah dikeluarkan Kompeni tidak dibayar kembali dan selain itu, Kompeni juga sangat kecewa dengan penerapan hak-hak komersialnya.        

Di tahun 1685 Kompeni memutuskan bahwa sudah waktunya untuk mengirim utusan khusus ke Kartasura dalam usaha untuk menyelesaikan sejumlah isu yang belum tuntas. Yang dipilih untuk mengepalai utusan tersebut adalah Kapt. François Tack yang sebelumnya telah bertemu dengan Amangkurat II ketika berada dalam keadaan sangat memalukan. Ketika ibukota Trunajaya, Kediri, jatuh di tahun 1678, pasukan Jawa dan Kompeni yang telah berhasil merebut kemenangan melancarkan aksi penjarahan di keraton. Yang dijarah termasuk harta benda Mataram yang telah dibawa Trunajaya ke Kediri dan sebenarnya akan dapat menjadi sumber dana bagi Amangkurat II untuk membayar kembali VOC. Ketika sedang berlangsung penjarahan, Kapt. Tack menemukan ‘mahkota emas Majapahit’ – sebuah barang warisan dari kerajaan Jawa pra Islam yang disimpan dengan hati-hati oleh dinasti, kendati tidak merupakan pusaka kerajaan. Alih-alih mengembalikannya dengan hormat kepada Amangkurat II, Tack berkata dengan sombong bahwa dia bersedia menjual mahkota itu kepada raja seharga 1000 real Spanyol (jumlah yang sangat besar ketika itu). Amangkurat II setuju dan dengan demikian mendapatkan kembali mahkota emas itu; akan tetapi di kemudian hari ternyata beliau tidak bersedia membayar hutang-hutangnya. (Mahkota itu untuk terakhir kali dilihat oleh umum di tahun 1739 ketika Pakubuwana II memakainya dalam perjalanan ke Mataram, bersama para pengikut raja. Diduga sesudah itu, mahkota hilang untuk selamanya ketika keraton Kartasura dijarah dua kali di tahun 1742). Di tahun 1682, Tack memimpin tentara VOC yang berhasil mengalahkan Banten; peran tersebut membuat dirinya dicurigai oleh keraton Kartasura.       

Seiring dengan semakin memanasnya ketegangan antara Kartasura dan Batavia,  kota yang tersebut terakhir itu juga menghadapi sejumlah permasalahan terkait keberadaan komplotan penyamun yang mengancam keamanan Batavia. Di antara para penyamun itu terdapat sejumah budak Bali yang melarikan diri; salah seorang yang paling menonjol di antara mereka bernama Surapati yang pada dirinya terbalut banyak kisah yang kebanyakan tidak dapat dipercaya. Dia menjadi musuh Kompeni yang paling dibenci dan ditakuti. Di tahun 1683, Surapati diperbolehkan masuk dalam dinas ketentaraan VOC, akan tetapi setahun kemudian dia bersama pengikutnya menyerang 39 serdadu Kompeni dan membunuh separuh dari mereka. Pasukan VOC sebanyak 800 orang dikirim untuk menyerang ‘Surapati yang haus darah pembunuhan’ dan akhirnya memang menderita banyak kekalahan. Surapati bersama pengikutnya yang terhindar dari maut melarikan diri ke arah timur dan memperoleh sambutan di Kartasura. Di tempat itu, sebuah kelompok anti VOC yang dipimpin oleh Patih Anrangkusuma mendapatkan bahwa Surapati dapat dipakai sebagai alat bagus untuk bernegosiasi dengan Kompeni yang meminta banyak permohonan tidak menguntungkan bagi perdagangan dan keuangan kerajaan. Kompeni memaksa raja menangkap Surapati, namun beliau tidak bersedia berbuat demikian

Sementara sejumlah kisah beredar, keraton masih menunggu ketibaan Kapt. Tack yang memimpin sebuah misi VOC. Ketika tiba di keraton di bulan Februari 1686, rombongannya diserang oleh gerombolan dari Surapati yang terdiri dari orang Bali dan orang Jawa yang menyamar sebagai orang Bali. Dalam catatan ketika itu terdapat banyak kesimpang-siuran, tetapi jelas bahwa raja sendiri juga bergabung dengan gerombolan tersebut. Sekitar 75 serdadu Eropa tewas, termasuk Tack.

Surapati meninggalkan keraton dan pergi ke arah timur, dan memantapkan wewenangnya atas Pasuruan dan kemudian mengembangkan kendalinya ke arah barat, ke dalam kawasan Kartasura. Selang beberapa waktu, Angrangkusuma juga meninggalkan Kartasura. Di bulan Maret 1686, sisa garnizun VOC di keraton ditarik ke kawasan pantai, dan jasad Tack juga dibawa serta. Dengan demikian, tidak ada lagi kehadiran VOC di Kartasura.

Dalam tahun-tahun berikutnya, keraton Amangkurat II perlahan-lahan terpecah dan tercerai-berai seperti juga pengaruhnya atas sejumlah distrik di luar kerajaannya. Menjelang dasawarsa 1690-an, yaitu ketika surat berikut ini ditulis, raja terpaksa berkesimpulan bahwa beliau sebenarnya memerlukan dukungan VOC – seperti yang terjadi di awal kepemerintahannya – maka dari itu akan menguntungkan apabila hubungan tegang dengan Kompeni diakhiri.     

Raja mengangsur sebagian hutangnya pada Kompeni di tahun 1694, 1696 dan 1699 dan berjanji akan melanjutkan pembayaran. Raja juga mengusulkan untuk mengirim seorang duta besar ke Batavia dan Kompeni mengabarkan bahwa rencana itu dinantikan.

Di bulan Oktober 1696, paman raja, Pangeran Adipati Natakusuma, memimpin rombongan utusan dan menyampaikan sebuah surat dari raja yang bernada cukup merendah, penuh permohonan ampun untuk berbagai kesalahan di masa lampau dan memohon diberikan sebuah pernyataan tertulis perihal apa saja yang masih menjadi hutangnya kepada Kompeni. Akan tetapi, dalam surat itu juga digaris-bawahi betapa kerajaan bersama para penduduknya sangatlah miskin dan sebab itu tidak mampu membayar jumlah besar. Dalam surat tersebut Amangkurat II juga mohon bantuan militer Kompeni. (Di akhir 1698, beliau  menulis surat kepada Kompeni dan memberi informasi bahwa Surapati sudah menaklukkan Madiun dan telah bersiap-siap untuk menyerbu Kartasura).

Surat berikutnya merupakan jawaban Kompeni yang bernada tajam, membenarkan diri sendiri serta menghukum. Surat diawali dengan serangkaian ungkapan hormat serta pujian yang lazim tetapi dikemas secara tajam, berisi harapan semoga Amangkurat II memerintah rakyatnya dalam kedamaian dan keadilan serta mengusir semua orang jahat dari keraton dan kerajaannya yang menurut VOC berjumlah banyak.

Kemudian disebutkan tentang utusan Natakusuma beserta isi surat kerajaan yang dibawa. Sesudah itu, surat Kompeni berisi daftar panjang dari semua kekurangan raja dan semua yang memang sepantasnya diminta oleh Kompeni. Diungkapkan kembali permintaan imbalan atas semua biaya yang telah dikeluarkan untuk membantu dinasti. Bukan hanya ganti rugi yang belum diterima, demikian ditulis dalam surat itu, tetapi sebaliknya Tack justru dibunuh di tahun 1686 – suatu perbuatan yang bahkan berlawanan dengan kaidah masyarakat yang ‘biadab dan tidak beragama’. Dan Surapati malah tidak ditangkap melainkan dibiarkan melarikan diri bersama Anrangkusuma. Kompeni juga telah mencegat surat-surat yang ditulis oleh Amangkurat II dan Anrangkusuma beberapa hari sebelum pembunuhan Tack dan ditujukan kepada seorang petualang Minangkabau bernama Raja Sakti (Ahmad Syah ibn Iskandar), yang merasa berhak atas tahta Minangkabau. Yang bersangkutan berencana untuk menjalin persekutuan bertumpu luas yang menentang VOC. Raja Sakti juga disebut dalam surat VOC ini, dengan panggilan Yang Dipertuan. 

Raja diberitahu betapa para pejabatnya yang tidak setia berusaha merebut kendali atas kerajaan dari tangannya – pernyataan ini memanglah benar – dan betapa beberapa dari mereka berkirim surat kepada Surapati. Batavia mengingatkan bahwa tidak lama lagi, mereka yang berbuat jahat ini akan menggulingkan raja dari tahtanya. Semua alasan yang dikemukan raja mengapa tidak menangani krisis ini ditepis sebagai ‘celotehan konyol serta tidak berdasar’

Sementara itu Kompeni sedang memindahkan markas besarnya di kawasan pesisir utara dari Jepara ke Semarang, dan menuntut agar raja memberikan bantuan dan mengalihkan sejumlah kawasan beliau menjadi daerah di bawah kewenangan Semarang sehingga dengan demikian memberikan sejumlah sumber daya secukupnya. Ada pula masalah terkait pos garnisun VOC di Surabaya, karena Pangeran Lamongan dari Keputren (dalam surat disebut ‘Pangeran Keputren’) telah menutup akses ke kawasan pedalaman dan dengan demikian juga memutus jalur bagi pemasokan bahan pangan dan kebutuhan lain. VOC lebih menyukai pangeran Angabei Jangrana II dari Surabaya yang bersama dengan Pangeran Cakraningrat II dari Madura tengah melebarkan kekuasaannya ke sejumlah kawasan di Jawa Timur.

Terkait dengan hutang kerajaan, Kompeni menuntut Sp. Rl. 1.367.017, suatu jumlah yang sangat besar, tetapi bersedia untuk menerima sebagian dari jumlah itu dalam bentuk beras dan hasil pertanian lain.

Oleh karena itu, surat ini sama sekali tidak berisi langkah usaha untuk mencapai rekonsiliasi atau kompromi. Surat ini dengan nada angkuh menuntut kepatuhan sepenuhnya dari seorang raja yang sedang mendapat tekanan dari berbagai sisi, sedang dalam proses kehilangan kendali atas keraton dan kerajaannya dan tidak melihat jalan keluar. Mungkin saja Batavia beranggapan bahwa Amangkurat II sedang kepepet dan putus asa, akan tetapi sukar membayangkan bahwa Batavia benar-benar berharap bahwa raja akan bersedia memenuhi tuntutan. Yang lebih dapat diterima adalah bahwa VOC berpendapat bahwa karena hanya ada peluang kecil raja akan memenuhi semua tuntutan Kompeni maka tidak ada salahnya untuk sekaligus mengungkapkan semua permintaan secara berlapis kepada Amangkurat II dan secara rinci serta gamblang.

Dengan demikian maka surat ini mencerminkan betapa VOC dengan berat hati telah mengambil pelajaran pahit akibat terlibat langsung selama dua dasawarsa dengan kerajaan Jawa tersebut. Pelajaran yang dipetik adalah bahwa Kompeni bisa saja membujuk, mengungkapkan keluhan, memaksa dan juga mengancam, tetapi pada dasarnya Kompeni tidak memiliki sarana dan prasarana apapun untuk memaksakan kehendaknya pada keraton Jawa. Sesungguhnya, Kompeni hanya dapat meraih tujuannya di kawasan pedalaman Jawa apabila memiliki sekutu-sekutu setempat yang dapat diajak bekerjasama. 

 

Sumber:

M. C. Ricklefs. War, culture and economy in Java, 1677–1726: Asian and European imperialism in the early Kartasura period. Sydney: Asian Studies Association of Australia in association with Allen and Unwin, 1993.

 

M. C. Ricklefs, “Surat Pemerintah Agung kepada Susuhunan Amangkurat II (m. 1677-1703), 20 April 1697”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Europa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 13. (Jakarta, Arsip Nasional Republik Indonesia, 2014)