Laporan tentang Silebar dan Bengkulu serta kegiatan orang-orang Inggris di tempat-tempat tersebut, 28 Januari 1696

Kapten John Macdonald, Bengal Insinyur di depan Fort Marlborough, Bengkulu, 1794. Peter Archer, 1994.

Kata Pengantar oleh Jeyamalar Kathirithamby-Wells

Download the full article in PDF

Jeyamalar Kathirithamby-Welss, “Laporan lisan Tsiely Godong, Menteri Banten dan Harkis Bali, mantan penerjemah untuk orang Inggris mengenai keberadaan orang Inggris di Silebar dan Bengkulu, Sumatra Barat, 28 Januari 1696”. Dalam: Harta Karun. Kahzanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 12. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013.

Di pertengahan abad ke-enambelas, bersama dengan seluruh kawasan pesisir barat Sumatra, Bengkulu menjadi pengekspor lada besar yang menarik perhatian negara tetangganya Banten, di seberang Selat Sunda. Menurut para sejarawan, Banten berhasil menguasai lada Sumatra demi meningkatkan pasokan ladanya sendiri ketika Sultan Hasanuddin (m. 1552-70) menikah dengan putri penguasa Inderapura dan dengan demikian menerima sebagai emas kawin seluruh kawasan pesisir di selatan. Kemudian, Tuan Pati Bangun Negara dan Bangsa Radin, masing-masing penguasa Redjang-Lebong dan Lemba Sungai Lemai dan Silebar, menerima gelar pangeran dari Sultan Banten. Hal ini terekam pada beberapa cawan tembaga bertarikh 1668 (A.H. 1079).[1] Nampaknya, pengangkatan mereka dimaksudkan untuk mengukuhkan kerjasama mereka demi meningkatkan pasokan lada bagi Banten.

Selama bertahun-tahun, persaingan Inggris-Belanda terkait perjanjian lada dengan para penguasa setempat memuncak hingga terjadi kemelut internal berupa perebutan kekuasan di Banten tahun 1682. Kesudahannya adalah, Kompeni Hindia Timur Inggris meninggalkan kantornya di tempat itu. Akibatnya, Inggris harus mencari akses lain ke pasar lada di Sumatra. Karena dihalangi oleh VOC di Pariaman (utara Padang), Kompeni Hindia Timur Inggris beralih ke Bengkulu. Di tempat itu, di bulan Juli 1685 Kompeni menandatangani perjanjian dengan pangeran Sungai Lemai dan Sungai Itam, hingga mendapatkan pengiriman lada khusus dengan harga tetap sebesar 12 dolar per bahar (berat itu kemudian ditetapkan sebesar 560 pon) dan juga sebidang lahan permukiman tempat mereka membangun Benteng Marlborough yang tangguh dan hingga kini masih berdiri tegak.[2]

Walaupun Belanda di Banten – seperti halnya dengan orang Inggris di Bengkulu - berusaha keras untuk menghindari terjadinya tindak kekerasan, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka memperoleh banyak keuntungan apabila Banten dapat menghalangi jangkauan Inggris atas lading-ladang lada di Sumatra Barat. Oleh karena itu, di bulan Desember 1685, atas desakan VOC, Sultan Abu Nasr Abdul Kahar (m. 1682-7) mengirim pasukan sebanyak 2-3000 orang ke Silebar bersama sebuah armada Belanda yang dipimpin oleh seorang jenang (wakil/duta) bernama Karia Sutra Gistra. Kedudukan Inggris terselamatkan berkat sejumlah factor, utamanya, pelarian para pangeran ke kawasan pedalaman; berjangkitnya penyakit di antara pasukan penyerbu; serta kurangnya bantuan Belanda hingga mengharuskan pihak Banten mengundurkan diri.[3] Dengan demikian, Inggris dapat menuntaskan penandatanganan sebuah kesepakatan dengan seorang penguasa setempat, pangeran Silebar, yang menguasai satu-satunya tempat berlabuh aman bagi kapal-kapal yang berkunjung ke pesisir Barat Sumata, yaitu di Pulau Bay.

Kendati di tahun 1688 Inggris berhasil mengusir Banten dan menghalangi mereka mengumpulkan lada di Silebar, Banten tetap berharap dapat memperoleh tuntutannya atas kawasan tersebut. Oleh karena itu, menteri Tsiliey Godong ditugaskan di tahun 1696 oleh Pangeran Kesatrian untuk menyelidiki keadaan di Bengkulu. Ketika sudah kembali ke Banten, yang bersangkutan menulis laporan yang dibuatnya bersama Harkis Baly, seorang pemukim Bengkulu yang ketika itu sedang melakukan kunjungan pribadi ke Banten; dahulu dia bekerja sebagai penerjemah untuk pihak Inggris. Keabsahan sejarah laporan tersebut yang menguntungkan tuntutan Banten yang sedang dilayangkan, dapat dinilai dengan mempelajari laporan-laporan Inggris setempat.

 Harga lada yang dibayar Inggirs memanglah 12 dolar Spanyol per bahar seperti dilaporkan Tsiliey Godong; namun, “tol” atau pajak yang disebutkan adalah komisi sebesar 1 dolar per bahar yang dibayarkan kepada pangeran untuk lada yang dipasok dari masing-masing kawasan hukum tersebut. Pajak itu sebagai pengganti dari hak mereka yang sekarang sudah dilepas untuk memetik pajak ekspor, sebuah butir kewenangan khas yang sudah biasa mereka nikmati dalam rangka mengawasi perdagangan istimewa atau monopoli. Dapatlah dimengerti bahwa pangeran Selibar enggan untuk melepaskan sumber pendapatan menguntungkan tersebut yang berasal dari kedudukan utama Silebar sebagai pusat utama kegiatan ekspor lada Sumatra Barat Daya. Dalam sebuah penyelesaian tertulis tercatat bahwa Kompeni Hindia Timur memberikan kompensasi tahunan hanya sebesar 400 dolar Spanyol.[4] Selain demi mengamankan pengalihan kendali pangeran atas perdagangan lada, Kompeni juga memungut pajak impor dan menghalangi pembagian keuntungan kepada pangeran

Pengaturan perdagangan antara Kompeni Hindia Timur dengan para pemimpin Sumatra nampaknya sangat menguntungkan pihak Inggirs, dan hanya memberikan keuntungan kecil bagi pihak setempat; dalam laporan bersangkutan hal tersebut dikatakan merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan Banten untuk mengukuhkan pengaruhnya. Namun, faktanya adalah bahwa Inggris mematok harga yang lebih tinggi dalam dolar Spanyol untuk lada,[5] dibandingkan dengan modus pembayaran yang seringkali dilakukan dengan memakai beras dan perbekalan oleh para pedagang Cina, Jawa dan lain-lain, termasuk pedagang yang diberi ijin oleh penguasa Banten. Selain itu, kehadiran Inggris memberikan keamanan dan kemapanan yang tidak diberikan oleh kunjungan yang lazim dilakukan oleh para jenang (wakil) Banten yang datang setiap 2-3 tahun; kunjungan tersebut pada intinya hanya untuk membuat perjanjian baru serta untuk menuntut pajak dan upeti.[6]

Rangkaian tindakan tidak adil yang dilakukan Inggris dalam perjanjian mereka dengan pangeran, seperti diungkapkan dalam laporan Tsiely Godong, mendorong keinginan Banten untuk mengusir Inggris, bila perlu secara paksa. Oleh sebab itu, informasi rinci dan tepat terkait tata letak prasarana pertahanan Inggris, termasuk rincian bangunan pertahanan, sangatlah penting dan siapa lagi yang dapat memberikan informasi demikian kalau tidak Harkis Baly. Namun nampaknya, Belanda enggan memberikan bantuan militer karena khawatir akan menyinggung Inggris, sehingga menyebabkan serangan baru tidak terjadi. Sebaliknya, menanggapi kontrak-kontrak yang kemudian dibuat Inggris dengan Manna dan Krue – yaitu kawasan di selatan Bengkulu – Sultan Mahassin Zainal Abidin (m. 1690-1733) mengusahakan serangkaian perundingan demi mengukuhkan tuntutannya. Menyusul informasi intelejen yang dibawa ke Banten oleh dua orang Sumatra, ‘Raja Tonkas dan Malla’, seorang jenang diutus di tahun 1729 dengan tugas mengembalikan kedua orang tersebut dan mengukuhkan mereka sebagai kepala setempat. Pada saat yang bersamaan, jenang juga menyampaikan sebuah surat dari Sultan, menawarkan kepada pihak Inggris, kawasan pesisir dari Manna hingga ke Nassal (sebelah utara Krue) dan memberikan mereka kekuasaan penuh untuk mengelola kawasan itu, dengan membayar 10.000 dolar Spanyol. Sebagai jawaban, Inggris mengirim kembali duta bersangkutan disertai janji bahwa masalah tersebut akan disampaikan kepada para Direktur dan kemudian tidak mengungkit persoalan itu lagi.[7]

Sikap berhati-hati terkait perluasan pengaruh Inggris lebih ke selatan lagi hingga Krue, tidak lama kemudian berubah oleh karena sejumlah penguasa setempat memberikan tawaran untuk melakukan perdagangan serta permukiman dan juga berkat pengendalian lemah dari Banten di kawasan tesebut dan karena Belanda tidak melancarkan tuntutan atas kawasan bersangkutan. Namun, di atas semua itu, yang dikhawatirkan adalah bahwa karena Inggris tidak mengambil tindakan apa-apa, hal tersebut hanya akan mendorong Banten untuk menuntut seluruh kawasan pesisir hingga batas-batas Inderapura. Di tahun 1742, Inggris menduduki Pulau Pisang, sebuah tempat di selatan yang penting untuk pengumpulan lada, namun baru empat tahun kemudian Banten melancarkan sanggahan. Serangan oleh Raden Banten yang diisukan itu, disusul oleh sebuah surat dari Sultan Arifin (m. 1733-48) yang mengancam akan minta bantuan kepada Belanda apabila Inggris tidak segera mundur. Inggris memberikan jawaban ‘yang beradab dan halus’ dengan mengatakan bahwa masalah tersebut akan diteruskan ke pada yang berwenang di Eropa,[8] dan dengan demikian berhasil mengulur waktu dan menyaksikan meletusnya kerusuhan di Banten yang semakin membesar akibat rangkaian intrik politik yang dibuat oleh istri penguasa, Rau Sharifa Fatima, yang semuanya berujung pada Pemberontakan Banten 1751-52. [9]

Ketika Banten menjadi negara antek Belanda di tahun 1752, perembesan aktivitas perdagangan oleh pihak swasta Melayu, Cina, Bugis yang diikuti orang-orang Eropa semuanya menggugurkan tuntutan VOC atas sumber lada utama Banten dari Lampung. Banyak di antara sumber-sumber tersebut jatuh ke tangan Inggris, sehingga Inggris tidak perlu lagi melebarkan kekuasaannya. Di tahun 1763, sebuah batu ditanam oleh VOC di kawasan Vlakke Hoek di Teluk Semangka demi memastikan garis batas wilayah dari kedua kekuatan Eropa yang saling bersaing itu, dan dengan demikian memeteraikan keinginan bersama mereka untuk menghindari pertikaian.[10] Semangka, yang jatuh ke tangan Inggris selama Perang Inggtris-Belanda Ke-empat (1780-84), kemudian diduduki kembali di tahun 1785. Pertukaran kawasan Sumatra milik Inggris dengan Melaka, yang dimeterai dalam perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824, akhirnya menyudahi perang tuntutan atas Bengkulu, dan membuka jalan bagi integrasi kawasan itu ke dalam Indonesia masa kini.



[1] J. Kathirithamby-Wells, The British West Sumatran Presidency (1760-85), Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1977, 21. Tentang minat Banten, Inggris dan Belanda pada Bengkulu, lihat P. Wink, ‘Eenige Archief stukken betreffende de vestiging van de Engelsche factorij te Benkoelen in 1685’, TBG, 64 (1924): 461-3.

[2] Ibid., pp. 5-6; John Bastin, The British in West Sumatra (1685-1825), Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1965, xii-xvi, 1-12; British Library, India Office Records: East India Company Factory Records, Sumatra Factory Records, Vol. 2 (1685-1692), 6 Nov. 1686. Untuk naskah perjanjian, lihat H. Dodwell, Records of Fort St. George. Letters from Fort St. George for 1688, Madras: Government Press, 1919, vol. 3, 3 July 1685, 205-7.

[3] Bastin, The British in West Sumatra, 17, 20-6; Sumatran Factory Records, jil. 2, Benjamin Bloom to Karia Sutra Gistra, ? Jan. 1985.

[4] Bastin, The British in West Sumatra, 4, 37-8; Kathirithamby-Wells, The West Sumatran Presidency, 32.

[5] Selama kurun waktu awal, ketika pembayaran untuk lada dilakukan dengan kain serta uang tembaga untuk menutup kekurangan dolar Spanyol, pihak Sumatra menunjukkan rasa tidak senang mereka dengan menyelundupkan produk yang dijual kepada para pembeli lain, sehingga memaksa administrasi Bengkulu menetapkan perak sebagai penopang utama bagi monopoli.

[6] Untuk hubungan komersial Banten dengan Silebar selama kurun waktu pra-Inggris lihat J. Kathirithamby-Wells, ‘Banten: A West Indonesian Port and Polity’, in J. Kathirithamby-Wells and John Villiers, The Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise, Singapore: Singapore University Press, 1990, 116-17.

[7] Sumatra Factory Records, Vol. 8, 30 Oct. 1729.

[8] Sumatra Factory Records, Vol. 9, 28 July 1742.

[9] Untuk sebuah berita tentang kejadian-kejadian ini, lihat Ota Atsushi, Changes of Regime and Social Dynamics in West Java: Society, State and the Outer World of Banten, 1750-1830, Leiden: Brill, 2006, 59-74.

[10] Kathirithamby-Wells, The West Sumatran Presidency, 139-40.

Jeyamalar Kathirithamby-Wells, “Laporan lisan Tsiely Godong, Menteri Banten dan Harkis Bali, mantan penerjemah untuk orang Inggris mengenai keberadaan orang Inggris di Silebar dan Bengkulu, Sumatra Barat, 28 Januari 1696”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 12. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013