Daftar Penduduk dan Rumah di Priangan 1686

Ikhtisar Sensus Rumah Tangga Pedesaan di Priangan, Jawa Barat, 1686

Prosesi pernikahan di lembah Gunung Salak, A.Salm, ca. 1865-187.

Kata Pengantar oleh M. Radin Fernando

Download the full article in PDF

M. Radin Fernando, “Sebuah daftar masa lalu terkait desa, kepala desa, rumah tangga, upeti dan penghasilan di Priangan, Jawa Barat, 1686”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Bersejarah Indonesia dan Asia-Eropa yang ditukil dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 11. Jakarta: Arsip Naional Republik Indonesia, 2013.

Dokumen yang diberi kata pengantar ini merupakan daftar paling awal yang diketahui tentang penduduk, lahan garapan serta hasil pertanian, dan juga tentang pajak yang wajib dibayar di kawasan Priangan, Jawa Barat. Daftar dilakukan di tahun 1686 oleh dua pegawai VOC yaitu Claes Hendriksz. dan Jan Carstensz. Tujuan daftar adalah untuk menunjang pengumpulan hasil pertanian serta hasil bumi tanaman perdagangan bagi VOC, yang dilakukan dengan memanfaatkan jasa perantaraan para kaum ningrat yang menjadi penguasa rakyat setempat. Daftar juga dilakukan untuk berbagai tujuan lain seperti untuk menyelesaikan pertikaian di antara para kaum ningrat terkait penguasaan lahan serta penduduk. Naskah asli dokumen ini diperoleh secara tidak disengaja terkait penanganan sebuah sengketa demikian di tahun 1763. Sebagian naskah diterbitkan oleh Hoadley (1994:201-203) dan isinya dibahas secara rinci oleh Hoadley (1994:32-65) dan De Haan (1912:202-204). Kedua penulis menilai dokumen tersebut sangat penting bagi penelitian sejarah sosial-ekonomi serta politik di dataran tinggi Priangan sebelum tahun 1800. 

      Dari daftar itu diperoleh sejumlah daftar tentang permukiman penduduk, nama para kepala desa setempat, jumlah keluarga, kegiatan ekonomis penduduk serta jumlah uang dan tenaga kerja yang wajib disumbangkan penduduk kepada kepala desa masing-masing di tujuh distrik utama di dataran tinggi Priangan. Distrik-distrik tersebut secara garis besar sama dengan kabupaten-kabupaten yang kemudian dibentuk di Priangan pada abad kesembilan belas. Kesimpulan yang dapat kita tarik dari kumpulan informasi tersebut tergantung pada penafsiran kita sendiri terkait sejumlah istilah atau konsep kunci yang terdapat dalam dokumen bersangkutan. Makna istilah-istilah tersebut perlu di tinjau dengan memerhatikan informasi yang terdapat dalam sumber-sumber masa kini lain tentang berbagai lembaga sosial dan ekonomi setempat. 

      Satuan dasar setempat yang dipergunakan dalam informasi ini adalah dorp yaitu desa atau dusun. Namun, mungkin lebih tepat mengartikannya sebagai permukiman penduduk. Nilai demografis masing-masing permukiman dinyatakan dalam jumlah rumah tangga, atau cacah jiwa. Nama masing-masing kepala permukiman disebutkan bersama dengan perkiraan jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh setiap wajib pajak kepada penguasa mereka. Nilai tersebut dihitung dalam jumlah uang, atau lebih sering dalam jumlah hasil pertanian senilai uang tersebut, dan dalam bentuk tenaga kerja. Para penguasa bumiputra di Jawa menyimpan catatan-catatan tersebut untuk perhitungan pajak. Sistem perpajakan tersebut merupakan hasil kompromi antara para ningrat setempat di satu pihak dan para penguasa Jawa di pihak lain. Pihak pertama sangat ingin mempertahankan kekayaan mereka dan menghindari kemunculan rasa tidak senang penduduk akibat pemungutan pajak yang memberatkan. Sementara pihak kedua bersikeras untuk memungut sebanyak mungkin pajak dari penduduk.

      Permintaan VOC yang terus meningkat terkait hasil pertanian dan tenaga kerja dari kaum ningrat (atau para bupati) dan dari para penguasa (atau para sultan) semakin merumitkan perundingan tentang kewajiban keuangan di penghujung abad ketujuh belas. Itulah sebabnya mengapa VOC mencatat dengan cermat penghitungan jumlah penduduk serta catatan tentang kewajiban mereka membayar pajak. Alasan lain mengapa dokumen seperti ini tersimpan dalam arsip VOC adalah karena Kompeni semakin mengetatkan pengendaliannya terhadap administrasi setempat serta semakin meningkatkan keterlibatannya dalam sengketa terkait lahan dan penduduk. Inti persoalan adalah bahwa nilai asset-aset tersebut merupakan sumber kekayaan perusahaan. Sesudah tahun 1680, VOC memeterai kontrak dengan para bupati Priangan dengan tujuan mengambil hasil pertanian seperti kopi yang dapat dijual di pasar dunia. Cara seperti itu kemudian dikenal sebagai Preangerstelsel atau “Sistem Tanam Paksa Priangan”.

      Menggambarkan kondisi sosial-ekonomi yang ada ketika itu berdasarkan informasi yang terdapat dalam dokumen-dokumen seperti ini dan sejenisnya, merupakan suatu proses yang rumit. Pertama, diperlukan pemahaman tentang latar belakang terkait sejumlah hubungan politik seperti hubungan antara VOC dengan para pemangku kekuasaan setempat. Hubungan tersebut berpengaruh pada jenis informasi yang terkumpulkan. Juga diperlukan pemahaman tentang sejumlah istilah yang digunakan para pembuat sensus ketika memaparkan data yang mereka kumpulkan.

      Umpananya, unit administrasi dasar yang dipakai adalah desa. Namun di penghujung abad kesembilan belas, desa telah berkembang menjadi pengertian yang sangat berbeda. Dalam kurun waktu ketika sensus ini dibuat, yang dimaksud dengan desa sangatlah cair baik dari segi kawasan geografis dan kependudukan. Komunitas-komunitas tersebut dengan cepat dapat lenyap akibat pemungutan pajak yang berat atau bencana alam seperti letusan gunung berapi dan kemarau panjang. Kategori kedua yang dipergunakan dalam informasi ini, yaitu cacah jiwa, menyimpan lebih banyak masalah terkait dengan praktek pemungutan pajak yang dilakukan kaum bumiputra serta berbagai istilah lain yang dipakai oleh mereka.                                

      Jumlah rumah tangga yang digunakan untuk menghitung pajak diberikan dalam satuan yang dinamakan cacah jiwa. Istilah ini telah berkembang sejalan dengan perkembangan sistem perpajakan itu sendiri selama abad ketujuh belas dan delapan belas. Pada awalnya isilah itu merujuk pada sebidang lahan yang dapat ditanami oleh satu rumah tangga, dan kemudian berkembang menjadi istilah yang merujuk pada sebuah rumah tangga yang wajib membayar pajak. Sementara jumlah rumah tangga dinyatakan dalam somah. Akan tetapi, terkadang para pegawai VOC menggunakan kedua istilah tersebut dalam arti yang sama. Besaran rumah tangga, baik yang dirujuk sebagai cacah atau somah, juga menjadi perdebatan. Sebenarnyalah, kedua istilah itu merujuk pada satuan yang lebih besar dari unit keluarga inti yang ditemukan dalam berbagai dokumen sejenisnya di abad kesembilan belas. Oleh karena itu, penelitian tentang demografi sejarah beserta dasar ekonominya yang ada di dataran tinggi Priangan sebelum tahun 1800 harus dilakukan dengan sangat berhati-hati. Pemahaman terkait bagaimana istilah-istilah kunci tersebut telah berganti makna sangatlah penting untuk menilai jumlah penghitungan penduduk pada setiap tanggal yang ada dalam statistik VOC.

      Dokumen ini memberi gambaran tentang penduduk yang hidup dalam sejumlah permukiman yang tersebar pada wilayah yang luas dan tidak mudah dikunjungi. Kondisi fisik yang tidak ramah demikian menyukarkan para kepala setempat untuk menghitung dengan cermat jumlah penduduk yang ada di dalam wilayah yang mereka kuasai. Lagi pula penduduk tersebut mudah berpindah-pindah akibat tata kelola pertanian yang mereka pergunakan yaitu sistem petanian berdasarkan “tebang dan bakar”. Selain itu, strategi untuk berkelit dari membayar pajak juga mendorong mobiliats mereka. Termasuk menghilangnya seluruh penduduk sebuah desa untuk menghindari pemungutan pajak yang berat. Lagi pula keadaan menjadi lebih runyam akibat marak terjadi penculikan penduduk desa oleh para kepala setempat yang saling bersaing dengan tujuan untuk meningkatkan kekayaan dan kekuasaan mereka pribadi. Pada waktu itu, tenaga kerja jauh lebih berharda daripada lahan sementara jumlah penduduk permukiman berbeda-beda. Demografi, politik dan lingkungan hidup semuanya berperan. Dengan menganalisis secara hati-hati data yang terkait jumlah permukiman berdasarkan keadaan lingkungan setempat maka akan diperoleh gambaran menarik tentang penyebaran penduduk di kawasan Priangan pada akhir abad ketujuh belas. Informasi yang terkandung dalam dokumen ini terkait pajak yang dipungut dalam bentuk natura dan uang mencerminkan masyarakat yang ekonominya beragam. Mereka bukanlah kelompok petani berekonomi lemah seperti yang mungkin diperkirakan orang mengingat mereka menghuni kawasan yang terpencil. Penduduk setempat tidak hanya menghasilkan tanaman komersial melainkan juga sejumlah produk buatan. Termasuk dalam kelompok pertama adalah gula, lada, kapas, kesumba (semacam zat pewarna), nila dan kepulaga. Sementara yang termasuk dalam kelompok kedua adalah anyaman tikar rotan dan peralatan serta periuk logam yang merupakan barang jadi terpenting. Tanaman komersial dan barang-barang jadi tersebut dikrim ke Cirebon yang ketika itu merupakan pelabuhan dagang utama di Jawa Barat untuk menyebarkan komoditi ke berbagai kawasan lain di kepulauan. Bagaimana kegiatan ekonomi ini  berkembang dalam dasa warsa – dasa warsa selanjutnya masih harus diteliti.    

      Dokumen ini juga melontarkan sebuah pertanyaan sejarah menarik: yaitu, apakah penduduk dataran tinggi Priangan sebenarnya dapat mengembangkan ekonomi yang lebih beraneka ragam dan mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi seandainya mereka tidak dipaksa menjadi penduduk berekonomi rendah menyusul penanaman kopi secara besar-besaran pasca 1830.

      Berdasarkan uraian sekilas terkait kawasan Priangan di penghujung abad ketujuh belas seperti yang dipaparkan dalam dokumen ini, kita mungkin berkesimpulan bahwa kondisi demografis dan ekonomis dataran tinggi Jawa Barat tidak banyak berkembang dalam kurun waktu selanjutnya; kesimpulan demikian tidak benar. Justru sebaliknya, akan lebih bermanfaat apabila mempelajari dokumen ini bersama dengan dokumen-dokumen sejenis lain, apabila ada, dan dengan demikian diperoleh gambaran yang lebih rinci. Dean selanjutnya, ilmu pengetahuan akan dapat memeroleh manfaat lebih kokoh demi generasi peneliti yang akan datang.                        

     

Catatan/Daftar Bibliografi

Penelitian terbaik tentang dokumen sejenis ini yang terkait tanah Priangan adalah C. M. Hoadley, Towards a Feudal Model of Production. West Java, 1680-1800 (Singapore: ISEAS, 1994). Tujuan utama Hoadley adalah untuk menjelaskan apa yang disebutnya sebagai sistem ekonomi dan politik “feodal” di Jawa Barat. Berangkat dari hal tersebut, maka terbukalah kemungkinan untuk meneliti secara khusus ekonomi setempat. Sementara untuk uraian singkat tentang sejarah dataran tinggi Priangan, lihat D. G. Stibbe, ed., Encyclopædie van Nederlandsch-Indië, jilid 3 (’s Gravenhage: Nijhoff, 1919), hh. 503-510. F. de Haan, Priangan. De Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811, 4 vols. (Batavia: G. Kolff, 1910-12) merupakan sumber informasi yang mengesankan yang diambil dari arsip VOC, khususnya Daghregisters van Batavia. Ulasannya yang rinci terutama sangat berharga bagi para sejarawan. Informasi tentang dokumen ini terdapat juga dalam Priangan, jilid 3, hh. 202-204 dan 316. Istilah-istilah dan lembaga-lembaga terpenting yang terkait dengan penentuan besaran pajak oleh para penguasa setmpat dibahas dalam Soemarsaid Moertono, State and Statecraft in Old Java. A Study of Later Mataram Period, 16th to 19th Century (Ithaca; New York, 1974). Kondisi sosial-ekonomi Priangan serta wilayah-wilayah lain di Jawa dalam kurun waktu pra-1800 dibahas secara singkat dalam  D. H. Burger, De Ontsluiting van Java’s Binnenland voor het Wereldverkeer (Wageningen: Veenman, 1939), hh. 3-54. Sementara J. W. de Klein, Het Preanger stelsel (1677-1871) en zijn nawerking (Delft: Technische Boekhandel, 1931), meninjau kondisi di wilayah Priangan hingga awal tahun 1870-an berdasarkan bahan-bahan sekunder. Sebuah penelitian baru-baru ini tentang topik yang sama dilakukan oleh Jan Breman, Koloniaal Profijt van Onvrije Arbeid. Het Preanger stelsel van gedwongen koffieteelt op Java, 1720-1870 (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010), akan tetapi penelitian tersebut menjadi kurang bernilai karena pendekatan ideologis yang terlalu besar terkait keterbelakangan ekonomi kawasan Priangan, dan bukti-bukti yang ada tidak diteliti secara imparsial dan cermat. Masih ditunggu sejarawan yang bersedia melakukan penelitian menyeluruh terkait kondisi social-ekonomi di kawasan Priangan pada abad ke-sembilan belas dan dua puluh. Keberadaan sejumlah besar sumber primer serta pembahasan berharga terkait topik ini terdapat dalam beberapa penelitian masa kini seperti R. E. Elson, Village Java under the Cultivation System, 1830-1870 (Sydney: Allen and Unwin, 1994).

M. Radin Fernando, “Sebuah daftar masa lalu terkait desa, kepala desa, rumah tangga, upeti dan penghasilan di Priangan, Jawa Barat, 1686”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 11. Jakarta: Arsip Naional Republik Indonesia, 2013.