Keluhan yang disampaikan oleh Penduduk Hunut di Pulau Ambon, 14 Juli 1695

Kata Pengantar oleh Gerrit J. Knaap

Download the full article in PDF

‘Terjemahan permohonan dalam bahasa Melayu yang ditulis sejumlah penduduk di Ambon kepada Pemerintah Agung Hindia Belanda, diterima di Batavia pada tanggal 14 Juli 1695’[1] merupakan sebuah dokumen cukup pendek dan sekilas pandang tidak terlampau mengesankan. Namun, membaca naskah itu dengan cermat dan menempatkannya pada situasi ketika itu, maka diperoleh sejumlah rincian menarik perihal kehidupan masyarakat umum di Amboina di abad ke tujuh belas, ketika pulau tersebut dikuasai oleh Kumpeni (VOC).

Ringkasan dokumen sebagai berikut:

Dengan mengatas-namakan semua penduduk di permukiman ‘Houmit’, dua atau tiga orang yang menyebut dirinya sebagai ‘pelayan rendah dan kawula jelata’, ‘dengan berlinang air mata’, dan ‘dengan segala kerendahan hati’ menyempatkan diri untuk menyampaikan perihal keadaan mereka yang menyedihkan ‘di telapak kaki’ para anggota Pemerintah Agung di Batavia. Seluruh lahan mereka, bahkan seluruh kawasan mereka, telah diambil oleh orang-orang dari enam desa lain, sehingga membuat mereka susah mencari nafkah. Para penyerang telah menduduki lahan-lahan mereka, membabat pohon-pohon cengkeh dan kelapa yang tua serta menggantinya dengan tanaman baru; mereka juga memanen sagu dan buah-buahan lain. Pada zaman kepemerintahan para gubernur VOC di Amboina sebelumnya, penduduk ‘Houmit’ telah menyeret para penyerang ke meja hijau, tetapi mereka dikalahkan akibat ‘permainan busuk’ dan ‘para saksi palsu’ dari lawan mereka. Para terdakwa dari enam desa menyatakan bahwa mereka adalah pemilik sah lahan-lahan tersebut yang mereka peroleh sebagai warisan. Namun, mereka yang dari ‘Houmit’ menyatakan tidak tahu-menahu bahwa orang-orang tersebut “berasal’ dari ‘Houmit’, sebab semenjak VOC mengusir orang Portugis dari Amboina yaitu di tahun 1605, tak seorang anak perempuan mereka yang telah beralih menganut agama Kristen atau menikah resmi dengan orang dari kelompok terdakwa. Dari pernyataan itu, kita menjadi maklum bahwa orang-orang ‘Houmit’ beragama Islam sementara yang berasal dari enam desa itu beragama Kristen. Nampaknya, selama masa Portugis penduduk ‘Houmit’ tidak memanfaatkan kawasan mereka karena mereka bersama penduduk Hitu dan lainnya berperang melawan orang Portugis. Sesudah orang Portugis dikalahkan, maka mereka yang bergabung dengan penduduk Hitu kembali ke kawasan mereka masing-masing dan kembali bercocok tanam di lahannya. Dalam masa kekuasaan Gubernur Arnold de Vlaming van Oudshoorn yang memerintah Amboina sejak 1647 hingga 1655, para pengacau dari enam desa itu mulai menduduki dan menanami lahan-lahan ‘Houmit’.  

Selama kepemerintahan Gubernur Dirk de Haas dari 1687 hingga 1691, penduduk ‘Houmit’ membawa perkara mereka ke pengadilan. Akan tetapi, sesudah De Haas pergi, perkara itu dikeluarkan dari pengadilan dan berakhir dengan keputusan yang sudah disebutkan di atas, yang merugikan penduduk ‘Houmit’. Dengan demikian maka untuk bertahan hidup mereka tetap tergantung pada kerelaan hati penduduk Hitu berbagi sumber kehidupan. Naskah itu berakhir dengan permohonan kepada Pemerintah Agung agar memberi keadilan kepada penduduk ‘Houmit’

Dengan demikian maka dokumen ini, kendati cukup pendek, menyentuh perihal hak atas tanah, pemanfaatan lahan pertanian, pelaksanaan hukum, perkembangan agama dan hubungan antara para penjajah dan yang dijajah. Sebuah naskah yang sarat dengan informasi. Namun, marilah kita tambahkan informasi dan menempatkannya dalam segi pandang perspektif sejarah serta keterkaitannya dengan keadaan setempat.

Nampaknya, lahan bersangkutan adalah Hunut yang termasuk kawasan Hitu, di pesisir timur laut pulau Amboina. Dalam abad ke enam belas hingga paruh pertama abad ke tujuh belas, Hitu merupakan negara yang secara politis merdeka, yang penduduknya telah turun-temurun berperang melawan para penjajah yaitu mula pertama orang Portugis dan kemudian orang Belanda yang diwakili oleh VOC. Penjajah berkantor pusat di sebuah kastel di Amboina yang terletak di Kota Ambon sekarang. Kastel itu merupakan bangunan terpenting di bagian selatan pulau Amboina, tepatnya di jazirah Leitimor dan kawasan pesisir Teluk Amboina. Pengantar paling baik untuk mengenal Hunut di abad ke tujuh belas, sejak dahulu adalah Generale Lantbeschrijving of Amboyna karangan pegawai VOC terkenal, ahli tanaman dan ilmuwan, Georgius Everhardus Rumphius (1627-1702).[2] Menurut Rumphius, dari segi sejarah, nama Hunut merujuk pada nama sebuah kumpulan lima negeri, dan juga pada nama desa utamanya. Tiga dari lima desa itu sudah punah, antara lain akibat peperangan antar-desa di abad ke-enam belas. Di paruh kedua abad ke-tujuh belas, apa yang masih tersisa dari kelompok desa itu dibagi dua. Penduduk di bagian terbesar, termasuk Hunut itu sendiri, bermukim di Hitulama di pantai timur laut; bagian yang lebih kecil adalah Hukunalo yang juga disebut Rumahtiga, terletak di pesisir utara Teluk Amboina. Penduduk Hunut memeluk agama Islam; penduduk yang lain yang berintegrasi dengan penduduk Hukunalo, dan memeluk agama Kristen. Almarhum ahli antropologi Indonesia, Joost Manusama, menggabungkan informasi Rumphius dengan sejumlah bukti etnologi lain.[3] Terkait dengan kumpulan desa itu, Hunut merupakan bagian dari federasi desa-desa yang lebih besar, yang dikenal dengan nama uli dan bernama Uli Helawan, atau ‘Uli Emas’ dan merupakan inti negara Hitu dengan pusat asal di Hitulama. Tidaklah mengherankan bahwa penduduk yang disebut dalam dokumen ini berbagi hidup dengan orang-orang dari Hunut yang miskin yang sebenarnya berasal dari Hitulama. Ketika itu, Hunut merupakan bagian integral dari Hitulama, dan ketika kemudian Hitulama terbagi menjadi Hitulama dan Hitumesen, maka Hunut menjadi bagian dari Hitumesen.

Kelanjutan sejarah dokumen ini adalah sebagai berikut[4] Selama peperangan antara Hitu di satu sisi dan Portugis serta VOC di sisi lain di paruh kedua abad ke enam belas dan paruh pertama abad ke tujuh belas, kawasan pesisir utara Teluk Amboina merupakan kawasan peperangan dan menjadi daerah tak bertuan. Para pemukim Hunut mundur ke Hitulama, sementara yang lain seperti penduduk Hatiwi dan Tawiri pindah ke sekitar kastel penjajah di Leitimor. Ketika peperangan usai, penduduk tetap tinggal di tempat-tempat baru mereka, oleh karena VOC ingin mengawasinya. Sejauh para penduduk desa hendak mengerjakan lahan-lahan mereka terdahulu, mereka diperbolehkan pergi ke lahan-lahan itu untuk melakukan kegiatan pertanian, tetapi tidak diperbolehkan menghuninya secara tetap. Kesudahannya adalah bahwa daerah tak bertuan itu menjadi kosong, dan menjadi sasaran empuk bagi penduduk lain yang tidak memiliki lahan, utamanya penduduk desa Leitimor dan penduduk Kota Ambon yang sudah mulai sesak. Orang-orang Hunut menyaksikan betapa lahan-lahan mereka diduduki oleh orang-orang dari Halong, Soya, Mardika dan tempat-tempat lain. Mereka bahkan mendirikan hunian yang sebenarnya dilarang VOC sejak 1658. Orang-orang Hunut mendapat kesempatan di tahun 1678 ketika gubernur Dirk de Haas berkuasa; yang bersangkutan adalah seorang yang dikenal oleh sahabat dan musuhnya sebagai “tuan yang liberal’. Tahun 1687 merupakan tahun ketika De Haas kembali menerapkan kebiasaan lama yaitu bahwa semua dokumen di pengadilan harus dibuat dalam bahasa Belanda dan Melayu sehingga memudahkan orang Hunut untuk mengajukan perkara. Semua itu disebabkan karena para pendahulu De Haas melakukan kampanye pengrusakan pada ‘rumah-rumah kebun’ dibarengi dengan serangkaian tindak kekerasan lain sehingga menimbulkan penentangan dari penduduk Pulau Amboyna. De Haas diutus untuk mengembalikan perdamaian di antara penduduk, yang dilakukannya dengan melakukan penyelidikan yang cermat, dan memberikan sedikit konsesi serta menerapkan peraturan dengan tidak terlalu ketat.

Malangnya, seperti diutarakan dalam keluhan mereka, orang-orang Hunut tidak berhasil dalam proses hukum mereka. Bagaimana nasib mereka dapat dibaca dalam Memorie van Overgave yaitu memorandum serah-tugas dari Balthasar Coyett di tahun 1706.[5] Seperti yang tertulis dalam dokumen ini maka tidak lama sesudah De Haas meninggalkan kawasan tersebut di tahun 1691, perkara pengadilan antara penduduk Hunut yang diwakili oleh Timolohalat dan desa-desa lain dengan Halong di barisan depan, telah diputus dengan menguntungkan bagi Halong. Bahkan penduduk Halong menerima dokumen kepemilikan lahan yang tercatat di sekretariat VOC. Bertahun-tahun kemudian, persoalan itu masih dibicarakan secara teratur dalam surat-mernyutat VOC. Di bulan Desember 1705, keturunan kedua pihak bersangkutan bertemu lagi di pengadilan. Coyett menyarankan agar permintaan penduduk Hunut ditolak karena Timolohalat dan keturunannya dianggap sebagai orang-orang yang ‘bergejolak dan gemar bertengkar’. Kita dapat menduga bahwa Hunut kembali kalah.



[1] ANRI VOC, Archief Hoge Regering, 2514, fol. 461-463.

[2]Terbitan paling bagus dari Rumphius’s Lantbeschrijving adalah W. Buijze (ed), De Generale Lant-beschrijvinge van het Ambonse Gouvernement ofwel De Ambonsche Lant-beschrijvinge door G.E. Rumphius. Den Haag, 2001. Saya merujuk pada 17, 45-46.

[3]Saya merujuk pada bagian disertasi Manusama yang diterbitkan anumerta dan disunting oleh Chris F. Van Fraassen: Z.J. Manusama, Historie en sociale structuur van Hitu tot het midden der zeventiende eeuw. Utrecht: LSEM, 2004, 38-39, 65, 81.

[4]Didasarkan pada cetakan kedua yang diperbaiki dari Gerrit Knaap, Kruidnagelen en Christenen; De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656-1696. Leiden: KITLV, 2004, 42, 51, 58-60, 153.

[5]Baca G. J. Knaap (ed.), Memories van Overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw. ’s-Gravenhage: Instituut voor Nederlandse Geschiedenis, 1987, 304.

 

Gerrit J. Knaap, “Keluhan yang disampaikan oleh Penduduk Hunut di Pulau Ambon, 14 Juli 1695”. Dalam: Harta Karun. Kahzanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 8. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013.