Surat dari Pangeran Puger yang sedang dalam pelarian kepada Pemerintahan Agung, 5 Mei 1704

Kata Pengantar oleh M. C. Ricklefs, Professor Emeritus, The Australian National University

Download the full article in PDF

Pangeran Puger adalah salah satu dari putra-putra Susuhunan Amangkurat I (memerintah 1646-77) dan adik dari Susuhunan Amangkurat II (memerintah 1677-1703); maka dari itu, ketika surat ini ditulis, beliau adalah paman dari penguasa muda Amangkurat III (memerintah 1703-8) yang baru saja naik tahta menyusul kematian ayahandanya. Surat ini merupakan salah satu dari sejumlah dokumen yang memicu terjadinya Perang Perebutan Tahta Jawa Pertama (1704-8), menghantar dilancarkannya intervensi militer VOC pertama di dalam kerajaan Jawa serta pelantikan Puger sebagai Susuhunan Pakubuwana I (memerintah 1704-19). Perkembangan tersebut mengubah garis ahli waris tahta dinasti Mataram. Selanjutnya, para raja Kartasura, Surakarta dan Yogyakarta merupakan keturunan dari Puger/Pakubuwana I.

Jelaslah bahwa Puger lahir sekitar 1648. Ketika Trunajaya mengambil alih istana Plered di akhir bulan Juni 1677, Amangkurat I bersama putra mahkotanya – yang tak lama kemudian naik tahta sebagai Amangkurat II – melarikan diri ke arah barat. Dalam pelarian tersebut, Amangkurat I wafat dan dikebumikan di Tegal Wangi. Ketika itu sudah terjadi konflik antara Puger dan putra mahkota yang berusia hampir sama dengannya. Sebenarnyalah, terdapat sejumlah bukti bahwa di akhir hayatnya, Amangkurat I lebih memilih Puger ketimbang putra mahkota. Bagaimanapun juga, yang akhirnya memimpin perlawanan terakhir menyusul keraton ditaklukan oleh Turnajaya adalah Puger.

Puger juga melarikan diri ke arah barat menjauhi keraton yang telah jatuh ke tangan musuh, dan kemudian memproklamasikan dirinya sebagai raja. Dalam sejumlah dokumen sejarah Jawa, dia diberi berbagai gelar kerajaan seperti Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama, dan disapa dengan sebutan Panembahan. Dalam sejumlah surat di masa itu, beliau menggunakan gelar Susuhunan. Bersama dengan dua saudaranya, pangeran Martasana (yang kemudian juga memakai berbagai gelar kerajaan) dan pangeran Singasari, Puger balik lagi ke Mataram dan merebut kembali keraton tua, paling lambat di pertengahan bulan Oktober 1677      

Ketika itu, dimulailah masa ketegangan yang berlangsung lama antara Puger – yang tinggal di keraton lama Plered dan memerintah sebagai seorang raja yang sah – dmelawan Amangkurat II yang mendirikan istana baru di Kartasura dan didukung oleh VOC. Di bulan November 1680, kekuatan militer VOC dan Kartasura berhasil mengusir Puger bersama para pengikutnya keluar dari Plered. Akhirnya, VOC memberikan jaminan keselamatan kepada Puger yang kemudian menyerahkan diri kepada Amangkurat II di bulan November 1681.

Sepanjang masa kepemerintahan Amangkurat II hingga akhir hayatnya di tahun 1703, berulang kali terjadi masa-masa sulit antara dirinya dengan Puger termasuk dengan keluarga besar Puger dan bersamaan itu terjadi pula banyak konflik lain, persekongkolan serta sejumlah intrik di dalam keraton yang terpecah belah.

Menurut catatan sejarah, ketika Amangkurat II wafat terjadi sejumlah peristiwa supranatural yang mengamanatkan bahwa wewenang raja yang dianugerahkan oleh para dewata, hendaknya diwariskan kepada Puger, dan tidak kepada putra mahkota yang digambarkan oleh catatan sejarah sebagai seorang lumpuh, berakhlak rendah serta teramat zalim (gambaran ini mungkin mencerminkan kepentingan para pewaris Puger yang memerintah di istana tempat catatan sejarah itu ditulis). Walau demikian, putra mahkota itu tetap mewarisi tahta kerajaan sebagai Amangkurat III.

Putra Puger, Raden Suryakusuma, mengiringi jenazah Amangkurat II hingga ke tempat pemakaman para raja di Imogiri, tetapi beliau sendiri kemudian tidak kembali ke Kartasura. Sebaliknya, beliau pergi ke arah barat, ke Bagelen dan menyatakan dirinya sebagai raja dengan gelar Prabu Panatagama – atau dengan gelar yang lebih agung – Susuhunan Waliolah Panatagama (artinya, ‘raja, sahabat Tuhan, pengatur agama’) Nampaknya, kiprah Suryakusuma sama sekali tidak terkait dengan ayahandanya, kendati demikian, di dalam keraton, Puger dituduh telah memicu pemberontakan dan sebab itu dimasukkan dalam penjara dan kemudian menjadi tahanan rumah.

Di awal 1704, sejumlah orang terkemuka lain juga berseberangan dengan raja yang baru. Di antara mereka adalah Pangeran Cakraningrat II dari Madura yang sangat berkuasa (yang ketika itu berusia sekitar delapan puluh tahun, dan salah seorang istrinya dikatakan telah diperkosa oleh Amangkurat III), penguasa Surabaya Angabei Jangrana II dan bupati Semarang (sebuah kawasan di bawah kendali VOC), yaitu Tumenggung Rongga Yudanagara. Menurut sumber-sumber Jawa, merekalah yang mendesak Puger untuk melancarkan pemberontakan. Pada tanggal 10 Maret, beliau melarikan diri dari Kartasurat di tengah malam dan menuju ke Semarang, dan dengan demikian melancarkan usahanya yang kedua untuk menjadi seorang raja.

Maka dimulailah apa yang kemudian lazim disebut sebagai Perang Perebutan Tahta Jawa Pertama (1704-8).

Surat di bawah ini ditulis oleh Puger di Semarang. Perlu diingat bahwa ketika beliau menyerah di tahun 1681, Kompani menjamin keselamatannya, jadi boleh dikatakan bahwa beliau sudah menganggap dirinya sebagai seorang yang dilindungi VOC. Itulah sebabnya mengapa beliau merujuk pada kebaikan yang sebelumnya telah diberikan oleh Kompani kepadanya, dan percaya serta berharap pada VOC, ‘seiring dengan Tuhan’. Beliau mengadu bahwa telah diperlakukan tidak baik oleh raja yang baru, dan menyangkal tuduhan bahwa beliau bertanggung jawab atas terjadinya pemberontakan oleh Suryakusuma.                 

Pengakuan beliau bahwa telah mendapat dukungan besar dari Cakraningat II dan sejumlah pihak lain, tak lama kemudian terbukti dibesar-besarkan sebab ternyata sukar sekali untuk membentuk sebuah koalisi untuk pergi ke Kartasura. Akan tetapi, ketika surat tersebut ditulis, rencana pembentukan koalisi tersebut nampak sebagai janji besar di mata VOC. Sudah sejak lama, Kompani tidak memercayai keraton Kartasura, khususnya Amangkurat III – yang diberitakan menjalin hubungan dengan musuh utama VOC, Surapati – dan pandangan Kompani bahwa Puger adalah seseorang yang memiliki sejumlah hubungan khusus telah membuat Kompani mendukung usahanya untuk merebut tahta kerajaan. Sementara itu, Amangkurat III menulis kepada Kompani, berjanji akan melunasi hutang kerajaannya; namun VOC tidak memercayai beliau.

Pada tanggal 7 Juli 1704, VOC memberitahukan kepada Puger bahwa beliau diterima sebagai seorang raja yang sah. Kendati Puger mengaku tidak mengetahui apa isinya, beliau kemudian berjanji akan menyetujui sebuah kontrak baru yang disesuaikan dengan persyaratan dan Kapten Tack telah diberi wewenang untuk menyetujuinya sebelum beliau dibunuh di keraton di tahun 1686. Pada awalnya, Puger menggunakan gelar Susuhunan (atau Susuhunan ratu) Amangkurat, akan tetapi di bulan Okgober 1704, beliau menggunakan sejumlah gelar yang kemudian menjadi panggilannya: Susuhunan Pakubuwana (I), Senapati Ingalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagama.          

Di tahun 1705, dengan dukungan kekuatan militer VOC dan sebuah koalisi para pendudukung Jawa, Pakubuwana I berhasil menguasai Kartasura, yang telah ditinggalkan oleh Amangkurat III tanpa berusaha memberi perlawanan apapun. Selama kampanye beliau di tahun 1706, Surapati terluka dalam pertempuran di Bangli dan wafat di Pasuruan. Demikianlah, maka Perang Perebutan Tahta Jawa Pertama telah berakhir di tahun 1708, dengan penyerahan diri Amangkurat III yang kemudian dibuang ke Sri Lanka.

 

Referensi

M. C. Ricklefs, War, culture and economy in Java, 1677–1726: Asian and European imperialism in the early Kartasura period. Sydney: Asian Studies Association of Australia in association with Allen and Unwin, 1993.

M.C. Ricklefs, “Surat Pangeran Puger yang sedang dalam pelarian kepada Pemerintahan Agung, 5 Mei 1704”. Dalam: Harta Karun: Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Europa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 4. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013.