Thomas Dias’ perjalanan ke Sumatera Tengah 1684

Istana Pagaruyung. © 1984 George Schnee. The Aga Khan Visual Archive, The MIT Libraries' collections.

Kata Pengantar oleh Timothy P. Barnard

Download the full article in PDF

Bagaimana sebaiknya bercerita tentang sebuah masyarakat yang berbeda sekali dengan masyarakat anda sendiri, yang lokasinya hanya digambarkan pada sebuah peta? Itulah kendala umum yang dihadapi VOC di abad ketujuhbelas ketika untuk pertama kali mulai menjelajahi kepulauan Indonesia yang begitu luas. Para karyawan VOC yang merupakan sebuah badan usaha perdagangan yang pertama dan utama ketika itu, mereka dihadapkan dengan keharusan untuk memahami berbagai masyarakat yang hendak mereka jadikan sebagai mitra usahanya. Ketika Thomas Dias melakukan perjalanan ke dalam kawasan masyarakat Minangkabau di tahun 1684, maka dia pun berpikir tentang berbagai peluang untuk menyelidiki serta memahami masyarakat dan komunitas baru. Dalam kisah perjalanannya tercerminkan kekayaan dokumen-dokumen arsip VOC.

Di tahun 1641, VOC berhasil menguasai Melaka yang merupakan salah satu pelabuhan kunci di kawasan tersebut oleh karena dari tempat itu lalu lintas kapal yang berlayar antara Laut Cina Selatan dan Samudera Hindia dapat diawasi. Dengan demikian pelabuhan itu merupakan mata rantai yang menghubungkan berbagai kerajaan luas yang memiliki aneka barang, bangsa dan kebudayaan. Melaka merupakan pusat masyarakat Melayu hingga 1511, ketika bangsa Portugis menaklukan pelabuhan tersebut dan memerintah hingga kedatangan VOC.

Ketika menaklukan Melaka, VOC dibantu oleh Johor yang merupakan tempat pengungsian banyak elit Melayu dari Melaka menyusul tahun 1511. Johor dan VOC tetap bersekutu sesudah tahun 1641, kendati timbul sejumlah ketegangan karena dalam beberapa dasawarsa berikutnya, Johor mulai menguasai kawasan hutan yang luas dengan sumber dayanya berlimpah yang terletak di bagian timur Sumatra.

Menyusul penemuan ladang-ladang timah di kawasan hulu sungai Siak dan Kampar di tahun 1670-an, Sumatra Tengah menjadi sumber daya tarik dan persaingan bagi Johor dan VOC. Di kawasan itu terdapat jaringan masyarakat yang luas yang melakukan perdagangan antara daerah pedalaman dan Selat Melaka. Para pemimpin masyarakat dengan mudah memeterai perjanjian dengan negeri (nagari) mana saja yang memberikan keuntungan paling besar. Jauh dari kawasan aliran sungai tersebut terdapat dataran tinggi Minangkabau, tempat bermukim masyarakat matrilineal yang rancak menguasai produksi beras dan pendulangan emas. Dari kawasan dataran tinggi tersebut yang bak sebuah tempat mistik bagi orang di awal kurun waktu modern, aktivitas perdagangan mengalir melalui daerah aliran sungai menuju ke Selat Melaka. Itu sebabnya maka dataran tinggi itu menjadi tujuan utama bagi setiap pedagang di kawasan tersebut. Thomas Dias melangkah masuk ke dalam aneka jejaring persaingan perdagangan ini, dengan melakukan sebuah perjalanan yang cukup menakjubkan ke dataran tinggi Minangkabau, dan dengan demikian turut membantu mengembangkan sejumlah simpul perhubungan antara VOC dengan negeri di pedalaman Sumatra.

Tidak banyak yang diketahui seputar Thomas Dias. Selain kisah perjalanannya ke kawasan Minangkabau di tahun 1684, namanya hanya disebut beberapa kali dalam catatan-catatan VOC. Dari catatan-catatan tersebut muncul sosok seorang pegawai yang dapat dipercaya, yang sering berfungsi sebagai perantara dengan para pemimpin dan pedagang setempat. Misalnya, di tahun 1682 Dias menyerahkan sejumlah surat kepada para pemimpin di Indragiri dan dalam sensus Melaka tahun 1680, tercatat bahwa Dias menikah dan mempunyai delapan anak dan dua orang budak. Dias digolongkan dalam ras orang berkulit hitam (zwarte).

Selain cuplikan singkat dari kehidupan Thomas Dias di Melaka itu maka hampir semua yang kita ketahui tentang dirinya berasal dari sebuah laporan yang ditulisnya pada tanggal 25 September 1684, menceritakan perjalanannya ke Minangkabau. Asal muasal dilakukannya perjalanan tersebut adalah karena sejumlah kegagalan para pegawai VOC di tahun 1683 untuk berkomunikasi dengan para pemimpin masyarakat di kawasan pertambangan di Sumatra bagian tengah. Dias merupakan salah satu peserta dalam ekspediisi ke Patapahan yang dilakukan dalam bulan Mei 1683 di bawah pimpinan Hendrik Temmer. Hanya sedikit yang dicapai ekspedisi tersebut, tetapi Dias tetap tinggal di Patapahan sesudah yang lainnya pulang. Di tempat itu dia mendirikan sebuah pos kecil sebagai semacam perwakilan (morador) Kompeni. Dalam kedudukannya itu, Dias bertengkar dengan seorang wakil pihak Belanda, Hendrik van Roonhuyzen yang berkunjung ke Patapahan di akhir tahun itu. Menurut Van Roonhuyzen, banyak permasalahan perdagangan yang terus berlanjut adalah akibat dari ketidakmampuan Dias. Kendati akhirnya Dias dapat membela diri di hadapan para pejabat Melaka, kedudukannya dan kelayakannya untuk dipercaya sebagai seorang perantara sudah dipertanyakan. Demi untuk mengembalikan kedudukannya di mata pejabat VOC, Dias mengajukan usulan berani yang membuat namanya kemudian tercatat dalam dokumen-dokumen arsip dan dengan begitu juga dalam sejarah: ini disebabkan karena dengan melakukan perjalanan itu diharapkan penguasa Minangkabau akan dapat diyakinkan untuk menertibkan kawasan yang sering bergejolak itu. Untuk mencapai tujuan tersebut maka Dias bermaksud pergi ke ibukota Minangkabau dan memastikan bahwa penguasa setempat akan memberikan dukungan kepada kepentingan perdagangan VOC di kawasan tersebut. Para pejabat VOC kemudian menyetujui maksud ini. Dalam bulan Mei 1684, Tomas Dias mengirim sebuah surat kepada penguasa Minangkabau di Pagar-Ruyung (dalam dokumen disebut “Paggar Oejom”), minta izin untuk berkunjung dan tak lama kemudian mendapat jawaban positif. Segera Dias menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan dan bersama 37 orang memulai perjalanan ke dataran tinggi Minangkabau yang seperti diceritakannya dalam dokumen ini

Dalam laporan yang diserahkan Dias bulan Juni 1684, digambarkan keadaan berbagai desa serta kendala yang ditemuinya ketika berjalan dari bagian timur Sumatra ke dataran tinggi Minangkabau. Dias berangkat dari pos penimbunan utama di Patapahan dan rombongan VOC tersebut terus-menerus bertemu dengan tokoh-tokoh yang enggan bekerjasama sehingga mereka terpaksa berjalan ke dataran tinggi dengan menyusuri sungaiKampar Kiri dan melalui jaringan rumit jalan setapak yang menghubungkan berbagai sungai. Dalam laporannya, Dias memang menggarisbawahi kesukaran-kesukaran yang dijumpainya, tetapi terbaca jelas pula bahwa dia juga tak henti-hentinya menegosiasikan pembentukan jalinan diplomasi dengan berbagai pihak itu. Sesudah berjalan beberapa minggu, rombongan akhirnya tiba di sebuah desa yang terletak dekat ibukota Minangkabau yaitu PagarRuyung. Nampaknya, lokasi desa tersebutlah tidak sama dengan lokasi desa PagarRuyung masa kini, akibat telah terjadi sejumlah persaingan dalam abad-abad menyusul kedatangan Dias.

Penguasa Minangkabau mengutus seorang Raja Malyo (“Raja Melayu” yang besar kemungkinan adalah seorang pejabat yang bertanggung jawab atas urusan perdagangan dengan kawasan timur atau kawasan Melayu). Raja Melayu itu datang bersama 500 orang dan mendampingi Dias menuju ibu kota pada senja hari. Keesokan hari, Dias baru masuk ke dalam ibu kota dan menghadap penguasa. Menurut Dias, kedua putra raja menemuinya di pinggiran kawasan kerajaan bersama 4000 orang yang kemudian mengembangkan sejumlah payung kebesaran dan mereka menghantar para tamu untuk bertemu dengan penguasa. Sesudah mempersembahkan sejumlah hadiah dan sebuah surat dari Gubernur Jenderal Melaka, Cornelis van Qualbarg, Dias diundang masuk ke dalam istana. Di sana penguasa menyambut tamunya secara yang lazim dengan memberinya buah pinang dan tembakau dan sesudah mengunyah pinang Dias, dan kemudian juga ambil bagian dalam perundingan diplomasi terkait perjalanannya yang antara lain membicarakan aneka bahaya yang telah dihadapi Dias selama perjalanan serta fakta bahwa dia merupakan orang nasrani pertama yang masuk ke daerah Minangkabau.

Beberapa hari kemudian, penguasa Minangkabau menyilahkan Dias yang sementara itu telah diberi gelar “Orang Kaya Saudagar Raja” untuk membuka sebuah pos Belanda di Patapahan dan juga membantunya agar dapat menguasai kegiatan perdagangan di sungai Siak dan Indragiri. Ketika Dias mengatakan bahwa Johor menguasai sungai Siak, penguasa Minangkabau menjawab dengan ringan bahwa kawasan “dari Pulau Gentong hingga Patapahan milik saya”.

Sesudah menerima berbagai hadiah dan kehormatan, Dias mulai menyiapkan perjalanan pulang. Ketika hendak berangkat, kepadanya diserahkan sejumlah surat dan cap sebagai tanda bahwa dia memang telah melakukan perjalanan tersebut, dan dengan demikian maka berarti bahwa kepadanya telah diberikan kewibawaan, tetapi dia juga diberi sebuah kotak berisi “sejumlah gambar tak senonoh” yang besar kemungkinan dahulu telah dikirimkan oleh seorang pejabat Belanda kepada penguasa Minangkabau. Dia kemudian meninggalkan PagarRuyung dan berjalan melalui jalur-jalur perdagangan yang lazim. Raja Malijo mendampingi rombongannya bersama 3000 orang hingga mencapai pos penimbunan Siluka dan dari tempat itu Dias melayari sungai Kampar Kiri dan melanjutkan perjalanan melalui darat hingga tiba di Patapahan dalam bulan Juli 1684.

Namun, tidaklah terlalu banyak hasil yang diperoleh dari perjalanan ini. Seorang wakil sultan Johor menulis surat ke Melaka di tahun 1684, berisi peringatan bahwa sungai Siak merupakan wilayah Johor dan para pedagang Belanda dilarang memasukinya. Kendati Patapahan tetap menghormati dan setia kepada wibawa Minangkabau, Johor berusaha keras agar dusun-dusun yang terletak di hulu sungai masuk ke dalam wilayah pengaruhnya. Ketika Dias tiba kembali dari perjalanannya di bulan Agustus 1684, Johor sudah menguasai sedikit banyak sungai Kampar Kanan dengan membuat sejumlah perjanjian yang dimeterai dengan para pemimpin di sejumlah tempat perdagangan. Walaupun VOC tak lama kemudian membangun sebuah loji di Patapahan, mereka akhirnya mengosongkannya akibat serangkaian serbuan dan juga karena para pedagang setempat memutuskan untuk menyalurkan timah dan emas mereka melalui dusun-dusun di sepanjang sungai Kampar.

Laporan Dias terkait perjalanannya ke kawasan Minangkabau menjadi sedikit lebih dikenal di akhir abad ke sembilan belas ketika seorang arsiparis di Batavia, F. de Haan, menarik perhatian orang kepada laporan tersebut dalam sebuah tulisan yang terbit dalam majalah TijdschriftvoorIndischeTaal-, Land- en Volkenkunde di tahun 1897. Sejak itu, laporan Dias telah muncul paling tidak dalam empat laporan utama lain di kawasan ini, termasuk dalam Forgotten Kingdoms of Sumatra, karya F.M. Schnitger dan juga dalam berbagai tulisan Christine Dobbin (Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy), Leonard Andaya (The Kingdom of Johor) dan Jane Drakard (A Kingdom of Words). Para sejarawan seringkali menggunakan laporan perjalanan tersebut sebagai sumber yang memberikan sekilas pandang tentang berbagai kegiatan di istana Minangkabau di awal kurun waktu modern dan juga tentang akitvitas perdagangan yang rancak dan kegiatan diplomasi di kawasan hulu Sumatra di akhir abad ke tujuh belas. Dengan demikian, kendati laporan itu menggambarkan sebuah perjalanan yang hebat tetapi hanya memberikan sedikit hasil kepada VOC, laporan itu memungkinan para ilmuwan memahami dengan lebih baik tentang hubungan rumit antar berbagai masyarakat di Sumatra bagian tengah di akhir abad ke tujuh belas.

 

Referensi

  • Barnard, Timothy P., Multiple Centres of Authority. Society and environment in Siak and eastern Sumatra, 1674-1827. Leiden: KITLV Press, 2003.
  • Barnard, Timothy P., “Mestizos as Middlemen: Tomas Dias and his Travels in Eastern Sumatra”, in: Peter Borschberg (ed.), Iberians in the Singapore-Melaka Area (16th to 18th century). Wiesbaden: Harrassowitz Verlag, 2004, 147-60.
  • Drakard, Jane, A Kingdom of Words: Language and Power in Sumatra. Selangor: Oxford University Press, 1999.
  • Reid, A. (Ed.), Witnesses to Sumatra: A Travellers’ Anthology. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1995.

Timothy P. Barnard, “Thomas Dias’ perjalanan ke Sumatera Tengah pada tahun 1684”. Dalam: Harta Karun: Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 1. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013.