IV.4 Penduduk, Kehidupan Sosial dan Upacara

Sebagai sebuah kota kosmopolitan yang berpenduduk multi-etnis dan multi-agama, Batavia merupakan sebuah ajang di mana berlangsung eksperimen dunia terbesar di kurun waktu awal modern. Historiografi modern cenderung memberi nama tertentu kepada beberapa pendekatan terhadap budaya populer yang terkait dengan berbagai kelompok pendatang seperti ‘small history’ , ‘sejarah kaum terpinggirkan’ (subaltern history) atau ‘sejarah diaspora’ para pendatang warga India. Budaya populer Batavia dapat direka-ulang dan dianalisis berdasarkan arsip yang menunjukkan adanya perbandingan dengan budaya populer yang muncul di kota-kota Eropa pada kurun waktu awal modern.

Para notaris Batavia bekiprah sama seperti rekan mereka di Amsterdam dan membuat dokumen seperti kontrak bisnis kecil biayanya terjangkau untuk setiap warga kota Batavia. Oleh karena itu maka ribuan dokumen dalam arsip notaris dibuat atas permintaan penduduk Batavia dari etnis Asia. Untuk memahami masyarakat yang kompleks ini, maka kita harus memahami kehidupan perorangan penduduknya: kehidupan seorang petani padi ‘Bapak Kurus’; kegiatan bisnis seorang Mardiker ‘Joseph Tomasz’; kehidupan penuh masalah seorang budak perempuan yang dibebaskan ‘Suzanna van Bengalen’; peluang-peluang ekonomi bagi perempuan bebas ‘Anna van Bali’.

Orang-orang yang disebutkan di atas mewakili sebuah kelompok sosial dalam masyarakat yang bersifat ‘kolonial’ dalam arti bahwa banyak pendatang yang menjadi pemukim dan penjajah. Namun, juga bersifat ‘kolonial’ dalam arti ‘sebuah kawasan bersama penduduknya dikendalikan oleh sebuah kekuasaan asing’. Kendati para penjajah Eropa, utamanya orang Belanda, merupakan minoritas kecil, lembaga-lembaganya dan perwakilannya berkuasa atas mayoritas para penjajah Asia dan penduduk Jawa. Masyarakat semacam itu bertumpu pada konsep rasisme Barat, ketidaksetaraan dan perbudakan. Masyarakat demikian dikelola dengan kekerasan dan penindasan. Dengan demikian maka budaya populer dan kehidupan sehari-hari Batavia berlangsung di dalam bingkai rasisme serta rejim penjajahan, dan banyak surat pernyataan dari arsip menggambarkan fakta tersebut. Pada saat yang sama, kehidupan mayoritas penduduknya juga berjalan sesuai arus perkembangannya sendiri begitu pula pembentukan identitas seperti kaum peranakan Cina dan kelompok yang kemudian di identifikasikan sebagai ‘orang Betawi’