II.6 Tanjung Harapan

Lima puluh tahun sesudah didirikan, VOC membangun sebuah pos perbekalan permanen di Tanjung Harapan, di tahun 1652. Lima tahun kemudian, penanaman sayur-mayur dan peternakan diswastakan sehingga terjadi arus masuk besar dari petani-petani merdeka, yaitu kaum Boer. Tanah jajahan yang dihuni warga bebas itu kemudian berkembang pesat di akhir abad tujuh belas dan sejumlah permukiman baru bermunculan seperti Stellenbosch dan Peral. Di abad delapan belas, kawasan permukiman itu juga berkembang dan empat distrik didirikan: Kaapstad, Stellembosch, Sellendam dan Graaff-Reinet di timur.

Perkembangan kegiatan pertanian dan merebaknya penyakit cacar yang menular berdampak fatal bagi suku-suku asli Khoikoi. Arus masuk ribuan budak dari pantai Afrika Timur, Madagascar dan Kepulauan Indonesia mendorong pertumbuhan sebuah masyarakat majemuk yang ditopang oleh para pekerja paksa. Di tahun 1795, atas permintaan Wali Negara Willem V yang mengkhawatirkan penyerbuan Perancis di bawah pimpinan Napoleon, sebuah armada angkatan laut Inggris mendesak gubernur terakhir Belanda, Jan Willem Janssens (berkantor 1805-1806) untuk menyerahkan diri.

Hubungan antara Batavia dengan Tanjung Harapan sangat penting bagi ‘Jejaring Kerajaan’ VOC. Armada-armada yang pulang ke tanah air dan berlayar dari Selat Sunda ke Tanjung Harapan, biasanya mengangkut pula lusinan budak swasta, penjahat serta tahanan politik. Mereka inilah yang merupakan cikal bakal masyarakat Muslim pertama di Afrika Selatan yang kemudian semakin ditumbuh-kembangkan oleh seorang ulama dari Makassar yang dibuang, yaitu Sheik Yusuf yang tinggal di peternakan Zandvliet (kemudian diubah namanya menjadi ‘Makassar’, kini terletak di perkebunan anggur Constantia yang terkenal) dari 1694 hingga wafat di tahun 1699.