I.6 Agama, Kitab Suci, Bahasa dan Buku
Sekutu-sekutu pertama VOC adalah para penguasa Muslim yang bermusuhan dengan bangsa Portugis. Yang terutama adalah raja Hitu, sultan Ternate serta penguasa Johor. Buku pembaptisan pertama di bekas kawasan permukiman Portugis seperti Labuha (di pulau Bacan, Maluku) menunjukkan betapa orang-orang dengan nama-nama Katolik bercampur baur dengan mereka yang menyandang nama-nama Belanda Protestan. Hubungan antar-agama, antara orang-orang Muslim dengan Nasrani di dalam wilayah yang dikendalikan VOC biasanya berlangsung secara mantap dan damai. VOC secara ketat menjalankan kebijakan ‘cuius regio, eius religio’; artinya, ‘Setiap kawasan menjalankan agamanya masing-masing’. Hingga abad kesembilanbelas, pendeta Protestan tidak diizinkan untuk melakukan kegiatan pekabaran injil di kawasan penguasa Muslim.
Kedua masyarakat beda agama itu hidup rukun dan damai, tidak hanya di kota-kota yang dikendalikan VOC seperti Batavia, Ambon dan Makassar. Di abad kedelapanbelas, seorang sultan Banten menghadiri kebaktian di gereja hanya karena rasa ke-ingintahuan pribadi. Kota-kota perdagangan seperti Banten juga menjadi ajang penting bagi pertukaran dan dialog keagamaan. Penerjemah Kitab Injil Belanda yaitu pendeta Melchior Leydekker (1645-1701), menghimpun naskah-naskah berbahasa Arab-Melayu di Banten di tahun 1690-an untuk mempelajari bagaimana konsep-konsep teologi serta ungkapan Islam digunakan. Hal ini sudah tentu berdampak pada bentuk bahasa Melayu yang dipergunakan Leydekker dan kawan-kawannya ketika membuat terjemahan pertama Kitab Injil dalam bahasa Melayu di tahun 1733, yaitu terjemahan Leydekker-Werndly yang untuk pertama kali diterbitkan dalam aksara Arab di tahun 1758.
Kegiatan keagamaan dari kedua agama monoteis tersebut mendorong penyebaran bahasa Arab dan Melayu dalam abad ketujuhbelas dan kedelapanbelas. Kemudian, penyebaran agama Islam dan Nasrani khususnya di Indonesia bagian timur, juga memengaruhi pendirian sekolah-sekolah serta penyebaran buku dan melek aksara.