Letter from the Phrakhlang on behalf of the King of Siam Narai (r. 1656-1688) to the Supreme Government in Batavia, 27 January 1683 and a reply from Batavia 11 May 1683

CATATAN HARIAN BATAVIA, 27 JANUARI 1683

 

[fol. 141] Berikut ini adalah terjemahan dari surat yang ditulis oleh Oya Berquelangh di Siam dan ditujukan kepada Yang Mulia Tuan Gubernur-Jenderal. Di bagian atas tertera simbol-simbol do’a.

Surat ini berasal dari Tsjauparaje Seri Derma Raya [fol. 142] Detsieh Tsjada Amataja Rajsjet Pipis Ritanrata Kosa Ribaedi Apie Piri Aer Germa Pahak Tsjauparaja Bergalang, ditujukan kepada Gubernur-Jenderal Cornelis Speelman, Dewan Hindia serta Kapten Batavia.

Gubernur-Jenderal telah mengutus Nerikpi ke Siam dengan membawa serta sebuah surat dan sejumlah hadiah yang terdiri dari sebuah lemari kabinet dari pohon kayu manis, 2 senapan hias laras panjang, dan juga 2 senapan laras pendek, begitu pula 2 lembing dan segulung  kain damas Jepang dengan sulaman benang emas, 4 potong kain renda berbenang emas dan perak, dan sebuah peti berisi setumpuk kertas untuk menulis atau menggambar; sepotong kain wol berwarna merah dan sepotong kain beludru, yang semuanya sudah pula hamba terima seperti lazimnya. Dari isi yang tertulis dalam surat itu, hamba memahami  bahwa Gubernur-Jenderal memerintah kota serta negeri Jaccatra dalam keadaan sehat dan sejahtera. Itu pula yang membuat hamba teramat bergembira. Termasuk pula apa yang tertulis dalam surat terkait sebuah atau beberapa kapal yang berlayar ke Siam, [yaitu] bahwa para pedagang kapal tersebut sudah pula memasukkan muatan dan siap berlayar, namun masih diminta untuk tidak berangkat dahulu oleh karena harus menunggu beberapa surat, dan sebab itu hamba mohon agar surat-surat hendaknya disiapkan dengan cepat tanpa ditunda-tunda lagi, sehingga kapal-kapal bisa dapat berlayar secepatnya.

Selanjutnya, mengenai kapal yang tiba di tempat ini dalam musim monsun: Ketika kami sedang menjawab surat bersangkutan dengan maksud agar kapal tersebut dapat segera berangkat, seperti yang disebutkan dalam surat dari kapten kapal, kapten loji mengatakan bahwa kapal tersebut belum akan berangkat ke Batavia melainkan akan berangkat dahulu ke Jepang. Itulah yang menyebabkan surat tersebut belum terjawab. Namun, sesudah hal ini, tidak akan lagi terjadi keterlambatan dan semuanya akan diusahakan agar dilakukan dengan secepat mungkin.

Selanjutnya dilaporkan bahwa VOC telah membantu putra raja Mataram menjadi raja dan dengan demikian memulihkan kembali ketenteraman di Cirebon dan Jepara, begitu pula VOC juga telah memberikan bantuan kepada raja Jambi dan Palembang dan juga bahwa VOC telah membelanjakan sejumlah besar uang perak, serta telah mempersiapkan sebuah kontrak dengan negeri-negeri tersebut yang menyatakan bahwa [fol. 143] mereka tidak diperbolehkan untuk berdagang dengan pedagang lain kecuali dengan Kompeni, dan juga bahwa Bantam kini juga sudah dikuasai oleh Kompeni dan perkembangan ini menjadikan pertanda bahwa di masa depan Kompeni akan memperoleh banyak keuntungan besar di semua negara tersebut. Sehubungan dengan itu semua, hamba ingin mengutarakan betapa hamba teramat bahagia dengan perkembangan tersebut.

Dan kini tentang kapal jung raja yang diperintahkan berlayar [dari Siam] ke Cirebon: kapal tersebut sudah tiba di Batavia dan dari sana melanjutkan pelayaran ke Cirebon. Tetapi setelah dua hari berlayar, kapal itu berpapasan dengan orang-orang Jawa yang menyerang serta membakarnya, meskipun kapal jung tersebut adalah kapal milik raja. Sehubungan dengan insiden itu, maka kami sangat berkeberatan untuk mengutus kapal-kapal jung raja ke  tempat-tempat yang terletak dekat dengan kekuasaan Batavia. Akan tetapi [hamba yakin] Gubernur-Jenderal pasti mampu untuk mengatasi serta memperbaiki masalah ini.

Selanjutnya, juga disebutkan dalam surat tersebut betapa seorang abdi raja  yaitu nakhoda kapal tersebut, harus memohon surat izin terlebih dahulu dari pihak Belanda untuk diperbolehkan membeli sekawanan kuda di Cirebon. Tetapi, ketika permohonannya tidak dikabulkan dan ia tidak bisa melakukan tugas pertamanya, yang bersangkutan tetap melanjutkan perjalanannya. Pertama-tama  menuju Bantam dan Palembang, dan dari sana kembali berlayar ke Batavia, dan di sana sekali lagi mengajukan permohonan izin Gubernur-Jenderal agar diperbolehkan memperdagangkan kain-kainnya di Cirebon. Demi memperlihatkan kemudahan besar dan kebaikan  dari Gubernur-Jenderal, nakhoda kapal itu diberikan surat izin yang diperlukan. Demikianlah maka kapten kapal itu membawa sejumlah besar kain ke Cirebon, yang berakibat bahwa kain-kain milik Kompeni yang ada di Cirebon tidak laku dan sebab itu Kompeni menderita kerugian besar, dan oleh sebab itu Kompeni tidak akan lagi mengeluarkan surat-surat izin yang demikian.

Bahwa sekarang si nakhoda sudah memperoleh surat izin Belanda untuk dapat membeli sekawanan kuda di Cirebon, dan dia tidak langsung ke sana tetapi berlayar dulu ke negeri lain, merupakan kesalahan nakhoda itu sendiri, dan untuk hal tersebut ia akan mendapatkan teguran pada saat ia sudah kembali nanti. Dan kenyataan bahwa kapten yang berada di loji tetap memberikan surat izin, hal ini merupakan sebuah sikap baik yang besar dan merupakan tanda persahabatan serta hubungan baik antara kedua pihak. Dan tentang kain-kain yang dibawa oleh  nakhoda itu [fol. 144], barang-barang itu telah dijual olehnya  dan hasil penjualannya dipakai untuk membeli kuda-kuda. Jumlah kain itu tidaklah terlalu besar dan nilainya tidak lebih dari 9 atau 10 kati perak. Dan waktu  nakhoda itu diutus untuk membeli kuda-kuda di kawasan pesisir Jawa, ketika itu belumlah pada musim monsun yang baik, dan monsun barat juga belum berakhir. Di tengah-tengah musim monsun, hanya sedikit kapal yang kami berangkatkan berlayar  ke suatu tempat, tetapi terkadang juga tidak ada sama sekali. Demikianlah yang terjadi.

Selanjutnya, kapten di loji Cirebon mengatakan bahwa apabila kami bermaksud membeli kawanan kuda, maka hal tersebut harus diberitahukan kepada Gubernur-Jenderal dan beliau akan melaksanakan pembelian tersebut. Cara demikian memang benar, akan tetapi orang Belanda memiliki patokan sendiri yang berbeda dengan orang Siam terkait pemilihan kuda dan sebab itu, apabila orang Belanda yang memilih dan membeli kuda maka kuda yang dibeli juga akan berbeda dan tidak akan sama seperti yang dikehendaki orang-orang Siam. Kapten loji juga mengatakan akan mengutus beberapa orang Belanda untuk mendampingi utusan raja, dan juga bahwa utusan raja tersebut akan kembali dengan menggunakan sebuah kapal Belanda. Namun, orang Belanda tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa yang sama dengan orang-orang Siam dan oleh karena itu mereka mungkin tidak akan dapat saling memahami dan dapat berujung pada perbedaan pendapat dan perselisihan yang dapat merusak persahabatan serta keserasian antara mereka. 

Selanjutnya terkait dengan kapal raja jenis Jung yang berlayar ke Persia dan mengalami kerusakan di Ceylon, Gubernur-Jenderal Ceylon telah menghabiskan 7200 uang perak untuk (biaya reparasi) kapal itu dan juga memberikan bantuan lainnya yang diperlukan. Untuk itu dibuat sebuah perjanjian tulisan tangan yang menyatakan bahwa uang perak tersebut harus dibayarkan kembali kepada kapten di loji (Siam). Setelah kapal diperbaiki dan disiapkan lagi, kapal berlayar ke Cochin dan kapten pun telah dilengkapi dengan tali-temali seperlunya serta sejumlah peralatan kapal lainnya, tanpa mengetahui benar berapa biaya yang terkait, yang menurut perkiraan sudah pasti dalam jumlah perak yang cukup besar. Apabila kami nanti sudah mengetahui jumlahnya yang pasti [fol. 145] maka kami akan membayar kembali kepada kapten loji yang berada di kota besar Siam, dan kami menghargai serta mengakui bahwa bantuan dari orang-orang Belanda yang diberikan kepada para utusan raja merupakan hasil persahabatan serta keserasian antara kita yang memanglah sudah terjalin sejak lama.

Selanjutnya, pengiriman sejumlah barang-barang ke Persia mengakibatkan kerugian besar kepada Kompeni dan kami selanjutnya tidak akan melakukannya lagi. Oleh sebab itu, apabila kami menghendaki barang-barang dari Surat, Persia, Bengala, Masulipatnam dan Mokka, yang merupakan tempat-tempat tujuan kapal-kapal Kompeni, kami selanjutnya akan menyampaikan keinginan kami kepada kapten di loji. Dan bahwa Kompeni akan mengurus hal itu seperti apa yang dikehendaki oleh Raja Siam, demi mencegah kerugian besar bagi VOC apabila Siam sendiri mengirim kapal-kapalnya. Jadi, kapal-kapal Siam juga tidak lagi memerlukan surat izin Belanda untuk berlayar di perairan tersebut.

Pernyataan Gubernur-Jenderal tersebut sesuai dengan apa yang sudah berlaku dalam rangka jalinan persahabatan antara kita, dan karena antara Persia dan Hederabath (yaitu Golkonda) juga sudah terjalin persahabatan yang serasi dengan kami, maka tidak akan ada masalah terkait dengan pengiriman barang-barang yang kami inginkan. Hal itu sesuai dengan jalinan persahabatan kami, tetapi mungkin kami tidak akan mendapatkan barang sesuai yang kami inginkan seperti halnya dengan kain merah yang dikirimkan pada musim monsun lampau karena warnanya tidak sesuai dengan yang diinginkan, dan sebab itu pula kain itu kami kembalikan. Oleh sebab itu, kami beritahukan kepada Gubernur bahwa kain dengan warna tersebut tidak diinginkan oleh para pedagang kami, sehingga menjadi tidak laku dan akibatnya memberi kerugian kepada Kompeni. Dan apabila memang ada beberapa abdi raja yang turut berlayar dengan kapal-kapal Belanda, itu memang sudah  tercatat dan disetujui di dalam kontrak perjanjian. Tetapi ketika para abdi raja itu telah mengumpulkan barang-barang untuk dimuat ke dalam kapal Belanda, orang-orang Belanda mengatakan bahwa di kapal sudah terdapat banyak barang dan peti dan sebab itu orang Belanda tidak bersedia mengangkut barang-barang para abdi itu, maka masalah itu tetap tidak terpecahkan  seperti semula.

Orang-orang Belanda di Siam juga tidak menguasai bahasa Siam dan sebab itu tidak dapat mendampingi orang-orang Siam dalam perjalanan [ke Persia] [fol. 146] oleh karena ada kemungkinan akan terjadi sejumlah kesalahpahaman yang dapat merusak persahabatan yang sudah terjalin. Kendati kami sudah memberitahukan barang-barang apa yang kami perlukan dari negara-negara bersangkutan, dan kendati VOC sendiri yang akan membawa dan memesankan barang-barang tersebut, masih ada kemungkinan bahwa barang-barang tersebut tidak akan sesuai dengan contoh yang diberikan dan apabila hal itu terjadi maka barang  itu harus dikembalikan. Dengan demikian situasi seperti itu bisa terus-menerus berlanjutan tanpa ada akhirnya. Namun, terkait dengan barang-barang yang hanya dibuat oleh orang Belanda, maka orang dapat langsung mengirim berita ke Holland agar barang-barang bersangkutan dibuat di sana. Akan tetapi, pengiriman sebuah kapal raja ke Persia tidak akan menimbulkan kerugian atau keuntungan kepada kami, dan juga pengiriman kembali barang-barang itu harus ditinjau sebagai usaha memelihara persahabatan yang sudah terjalin sejak lama.

Kemudian dalam surat Pemerintah Agung juga disinggung perihal perjanjian yang sudah terpateri sejak dulu hingga sekarang, dan dalam perjanjian tersebut ditetapkan bahwa VOC akan membeli kulit rusa dan kerbau, namun dewasa ini hal tersebut tidaklah terjadi [ini disebabkan] karena kapal-kapal jung Siam sudah berangkat ke Jepang karena musim monsun dan oleh karena itu orang Belanda tidak dapat memperoleh barang-barang tersebut dalam jumlah cukup dan akibatnya VOC menderita kerugian besar. Oleh sebab itu, kami tidak dapat mengijinkan pihak lain untuk membelinya, kendati semua pedagang yang tiba di kota besar Siam bermaksud hendak melakukan pembelian dan mengangkut barang-barang tersebut ke Jepang untuk diperdagangkan di sana. Apabila ada orang yang berminat, dan bersedia membayar harga seperti yang di Jepang, maka VOC akan terbebas dari kerugian tersebut.

Terkait masalah ini, kontrak yang dibuat pada masa jabatan De Bitter tidaklah berubah, seperti yang dinyatakan secara tertulis di awal perjanjian bahwa kulit rusa dan kerbau hanya boleh dibeli orang Belanda atas izin raja, dan bahwa pedagang lain dilarang melakukannya, dan Belanda akan membelinya dalam jumlah yang banyak dan bahwa orang Belanda diijinkan membeli 10.000 lembar kulit dengan harga pembelian [fol. 146] dan diijinkan mengirimkannya ke Jepang dengan menggunakan kapal jung raja atau kapal-kapal jung lainnya. Karena ketersediaan kulit tidak banyak dan jumlahnya tidak dapat dipenuhi maka orang Belanda hanya membeli 7.000 lembar. Mengingat bahwa kami sudah 4 tahun tidak melakukannya lagi, dan mengirimnya ke Jepang dengan kapal raja sebanyak 2.135 lembar kulit, maka jumlah kulit yang kami serahkan kepada orang Belanda kurang 18.725 lembar dibandingkan yang disebutkan dalam perjanjian. Dan ketika kami menyadari betapa orang Belanda hanya memperoleh kulit dalam jumlah sedikit, maka pegawai bendahara juga dilarang untuk membeli kulit dari orang Belanda yang sementara itu, dalam kurun waktu 11 tahun, sudah membeli 128.725 lembar kulit.

Dan sekarang, terkait dengan penghitungan jumlah lembar kulit yang telah dibeli oleh orang Belanda, seperti tertulis dalam surat perjanjian, dan juga pengiriman ke Jepang serta kegiatan memperdagangkannya di sana, maka berarti mereka [yaitu VOC] memperoleh keuntungan sebesar 1.059 Kati, 12 Tahil dan 1 Mas. Oleh sebab itu keuntungan yang lalu menjadi bernilai lebih besar dan lebih banyak  karena diberlakukannya larangan pembelian itu, yaitu tidak boleh lagi membeli kulit dari orang Belanda untuk diangkut ke Jepang dengan menggunakan kapal-kapal jung, dan orang Belanda tetap diijinkan untuk membeli serta memilikinya, dan hal tersebut sudah lebih dari cukup mencerminkan kemudahan dan kebaikan yang telah diberikan oleh Paduka Raja. Kendati hal ini tidak ditampilkan dengan jelas oleh kapten di kota besar Siam kepada Gubernur, jumlah lembar kulit yang lebih kecil tidaklah  dapat diasumsikan sebagai suatu perubahan  dalam kontrak perjanjian. Sebab, pada umumnya yang berlaku dalam perdagangan adalah bahwa memperoleh barang dalam jumlah yang lebih banyak atau lebih sedikit semuanya tergantung dari jumlah penjual dan pembeli yang melakukan kegiatan perdagangan. Karena semenjak masa kapten Enogh Poolvoet hingga kapten Johannes atau Jansen, diusahakan agar terdapat nilai keuntungan besar bagi VOC dan melaporkannya kepada kapten loji di kota besar Siam sekaligus menjelaskannya dengan argumen yang kuat [fol. 147].

Selanjutnya, kapten loji juga memberitahukan bahwa para pedagang Cina telah membeli kulit tersebut secara ilegal dan membawanya ke Jepang, dan sehubungan dengan itu syahbandar diperintahkan untuk melarang orang-orang Cina bersangkutan melakukan hal tersebut, serta memberitahukan kapten loji bahwa apabila musim berlayar telah tiba untuk melakukan kegiatan pembelian kulit. Kapten juga akan menunjuk orang untuk membeli kulit dan juga akan memerintahkan orangnya sendiri untuk menjaga dan mengawasi supaya tidak terjadi perdagangan ilegal, dan demikianlah hal yang terjadi.

Dalam surat juga disinggung tentang rencana orang-orang Belanda untuk melakukan perdagangan di Salang, Banggirei dan Takoet dan dalam sebuah surat [kami] telah berkesempatan untuk menjelaskan keadaan [tempat-tempat tersebut], yaitu bahwa orang-orang Belanda di sana tidak akan dapat melaksanakan perdagangan timah dalam suasana yang aman dan nyaman karena keadaan negara itu tidaklah tenang dan para penduduknya kejam-kejam dan mereka juga berhubungan dengan penduduk negara-negara lain serta bersuratan dengan mereka, dan bahkan mereka juga menunjukkan tindak kekejaman kepada kepala negara itu, dan demikianlah yang juga sering dikatakan oleh para pedagang asing di sana. Dan apabila orang-orang Belanda diperbolehkan tinggal di sana untuk melakukan perdagangan, maka akan sangat mungkin terjadi orang-orang Belanda akan diperlakukan secara tidak jujur dan dengan itikad buruk oleh penduduk di sana sehingga akan menghambat jalan menuju persahabatan serta hubungan serasi dan bahkan kemungkinan akan terjadi perpecahan. Demikianlah maka hal tersebut juga diberitahukan kepada kapten yang tinggal di loji di kota besar Siam.

Terkait dengan sikap tidak ramah serta permusuhan orang-orang di Salang, Banggirei dan Takoet, semua itu sejak awal juga sudah diberitahukan secara tertulis kepada kapten [fol. 149] dengan permintaan agar hal tersebut disampaikan kepada Gubernur. Mengingat sikap dan cara yang ditempuh masing-masing negara dalam menjalin hubungan persahabatan, maka semua hal harus dilakukan agar hubungan tersebut dapat dipertahankan dan untuk itu harus dilakukan perundingan sehingga semua hal serta kegiatan disesuaikan agar tidak terjadi perbedaan pendapat serta keresahan antara kedua pihak. Dan kini hamba dengan (Gubernur-)Jenderal terjalin dalam sebuah persahabatan, dan tetap dipertahankan sejak awal dan agar selanjutnya juga tetap demikian. Dan keadaan di negeri-negeri Salang, Bangirei dan Takoet kami nyatakan seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Dengan demikian, apabila kami tidak memberitahukan perihal ini, dan membiarkan orang-orang Belanda tinggal di tempat-tempat tersebut sehingga sikap bermusuhan rakyat negara-negara tersebut dapat berakibat buruk kepada orang-orang Belanda, maka hal tersebut akan bertentangan dengan persahabatan kita dan keluar dari jalurnya. Dan untuk alasan itu maka pemberitahuan ini diberikan agar tidak terjadi hal-hal buruk kepada orang-orang Belanda di sana.

Selanjutnya juga dibicarakan tentang koper emas yang dikirimkan untuk diberi lapisan email. Katanya koper itu sudah dibawa ke Holland, dan pengerjaannya bisa dilakukan di sana. Namun, kapal besar yang membawa kembali koper tersebut dalam perjalanan dinyatakan hilang dan belum muncul di Jaccatra dan kemungkinan besar sudah tenggelam di laut, sehingga Kompeni menderita kerugian 2.100 kati, dan Gubernur-Jenderal pasti bersedih sekali, karena koper itu ikut hilang. Tetapi, apa boleh buat, demikianlah nasib di laut, oleh sebab itu Kompeni banyak dan sering kehilangan barang, dan dengan demikian Gubernur- Jenderal tidak terlalu sedih.

Selanjutnya di dalam surat itu dibahas juga bahwa Gubernur-Jenderal sangat senang dengan kedatangan tukang email itu, meskipun agak menyedihkan karena membiarkan tukang batu dan tukang bangunan kembali, karena ternyata di Batavia tidak ada ahli bangunan benteng dan juga ahli-ahli lainnya. Juga sampel-sampel barang yang dikirimkan – agar barang-barang itu akan dibuat sesuai dengan sampelnya – sudah disiapkan, dan juga dengan cara yang sama [fol. 150] seperti dahulu dipesan, apabila barang itu dibawa kapal-kapal dari Belanda. Itu sesuai dengan jalinan persahabatan di antara kita, dan apabila semua itu datang dengan kapal dari Belanda, maka barang-barang pesanan itu harap diberangkatkan dengan kapal-kapal pertama ke kota besar Siam beserta orang-orang Belanda yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman kerja dalam pembangunan benteng, kastel dan juga tembok-tembok pertahanan. Kami juga memerlukan orang-orang Belanda yang berpengalaman sebagai penempa besi baik untuk pekerjaan kasar maupun halus.

Akhirnya, kepada Gubernur-Jenderal juga diberitahukan melalui surat ini bahwa dewasa ini raja Jambi telah mengirimkan upeti berupa bunga-bunga yang terbuat dari emas dan perak dengan permohonan agar beliau diakui sebagai abdi Paduka Yang Mulia dan juga agar negerinya disejajarkan sebagai vasal dari kota besar Siam, dan beliau juga memohon dengan sangat agar dikaruniai oleh Paduka Yang Mulia, dan juga agar diperkenankan untuk mendapatkan pinjaman yang cukup banyak dan terkait permintaan itu maka Paduka Yang Maha Terhormat telah menerimanya dengan baik dan permohonannya pun dikabulkan. Dan mengingat ikatan persahabatan kita dari dahulu sampai kini, dimohon hendaknya Gubernur-Jenderal juga menyetujui hal tersebut. Apabila terjadi sesuatu kepada raja Jambi, maka dimohon agar Gubernur juga memberikan bantuan karena negeri Jambi kini juga sudah menjadi bagian dari kota besar Siam.

Paduka Yang Teramat Mulia, berdasarkan kemurahan hati, menghadiahkan kepada Gubernur 32 bahar timah dari dusun Ligor, dan hamba menambahkan kepada Gubernur-Jenderal 7 bahar timah. Demikianlah, semoga ikatan persahabatan dan keserasian antara kita berdua akan tetap ada hingga hari kiamat, dan selama bulan serta matahari masih bersinar, dan bahwa Gubernur-Jenderal juga berkeinginan agar hal ini terjadi.

Surat ini ditulis pada tanggal 22 bulan ke 11 pada hari Jumat di tahun anjing, Akhir surat

 

CATATAN HARIAN BATAVIA, 11 Mei 1683

[fol.474] Surat yang ditulis oleh Raja telah disampaikan kepada kami pada tanggal 18 Januari 1683 dan diterima seperti biasanya. Surat itu merupakan jawaban dari surat yang kami tulis untuk Yang Mulia pada tahun 1682.

Dengan ini, kami  mengucapkan terima kasih kepada Raja Yang Mulia demi menjaga monopoli ekspor kulit yang diberikan kepada perusahaan Kompeni. [Juga] bahwa sampai saat terakhir para syahbandar telah diperintahkan untuk menghindarkan segala penyelundupan yang dilakukan oleh negara Cina dan negara lainnya, dengan memberikan izin kepada kapten kami untuk boleh mengawasi pekerjaan itu. [Juga] bahwa bendahara kerajaan selanjutnya tidak diperbolehkan untuk merebut setiap kulit milik Kompeni, tetapi membiarkan kapten untuk memilikinya yang kemudian dikirimkan ke Jepang atas biaya Kompeni, di mana penguasa Jepang di Nagasaki membeli kulit itu dengan harga yang sangat rendah, sangat berbeda dengan waktu yang lalu. Tanpa diragukan lagi, Raja memahami hal itu, sehingga kapten kami tidak bersalah ketika ia di Siam mencoba menawar kulit itu dengan harga yang wajar.

Dari negeri Belanda kapal terakhir membawa barang-barang yang diminta, menurut modelnya, 28 topi kastor [1] yang kualitasnya sangat baik, semua dipernis seperti yang ditentukan, dan dikirim dalam peti yang bagian dalamnya berlapis timbal, dengan instruksi kepada kapten kami untuk secepatnya mengantarkan topi-topi itu supaya Yang Mulia dapat dengan segera puas menikmati seleranya. Kami tidak ragu bahwa topi-topi itu akan memberikan kepuasan yang sangat besar dan akan menyenangkan Yang Mulia.

Meskipun kami yakin bahwa Raja sudah menerima kabar tentang kapal yang mengalami kecelakaan di sungai Surat, kami tidak ingin mengabaikan untuk memberitahu kapten kami di kota besar Siam tentang fakta-fakta dari kasus tersebut, sehingga ia dapat mengomunikasikannya kepada Raja atau Phrakhlang jika ia ditanyai tentang hal itu. Para abdi Raja yang berada di sana [di Surat] telah meminta kepada direktur kami sejumlah besar uang, yaitu 3.000 rupiah, untuk membangun sebuah kapal baru di sana. Direktur kami tidak berani memutuskan hal itu karena takut tidak menyenangkan Raja. Dan juga karena pembangunan kapal itu tidak hanya sangat mahal, tetapi juga membutuhkan waktu yang lama. Namun demikian ia telah mengusulkan untuk memberi mereka 15.000 rupiah, atau untuk membiarkan mereka pergi dengan barang-barang mereka memakai kapal Kompeni.

Tapi komandan Cochin belum memberitahu kami bantuan apa yang diberikan kepada kapal kerajaan di sana. Gubernur-Jenderal dan anggota Dewan Hindia tidak bisa ingat bahwa abdi-abdi Raja itu ditolak untuk memuat barang-barang mereka di kapal Kompeni karena kuantitasnya terlalu besar. Sebaliknya, Gubernur-Jenderal masih ingat dengan baik bahwa beberapa tahun yang lalu para abdi Raja dibawa kemari [ke Batavia] dari Surat dengan barang-barang sebanyak yang bisa mereka muatkan di kapal Kompeni. Dan bahwa kami tidak menuntut uang 2.000 rupiah yang ditetapkan oleh  direktur Surat sebagai biaya pengiriman, semuanya itu dilakukan untuk menghormati Raja. Setelah disambut dengan baik, para hamba itu diberangkatkan dari sini [Batavia] dengan barang-barang mereka ke Siam, dan kita tidak akan pernah lalai dalam hal ini.

Tapi sekarang mengenai raja dan negeri Jambi: tahun lalu dalam surat kepada Paduka Raja Yang Mulia kami memberitahukan tentang situasi antara Jambi dan Kompeni sesuai dengan kontrak baru [2]. Raja [Jambi], dan seperti juga raja Palembang, Susuhunan Mataram dan pangeran Cirebon, telah memberikan kepada kami perdagangan bebas di wilayah kekuasaannya, dengan mengesampingkan semua bangsa lainnya. Baginda juga menempatkan dirinya di bawah perlindungan Kompeni, sebagaimana kapten kami di kota besar Siam akan dapat lebih banyak menginformasikan kepada Yang Mulia, jika diminta. Raja [Jambi] tidak bisa menempatkan dirinya sendiri di bawah wewenang raja-raja lainnya tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari Gubernur-Jenderal dan para anggota Dewan Hindia. Sangat mengherankan kami bahwa beliau telah mengirim utusan-utusan dengan bunga-bunga dari emas dan perak dengan tujuan itu, sebagai tanda tunduk kepada Yang Mulia. Tanpa diragukan lagi, tujuannya adalah untuk dapat meminjam uang dan untuk hadiah-hadiah yang akan diperolehnya pada saat kembalinya para utusannya sendiri dan utusan-utusan dari Siam. Namun, Yang Mulia akan cukup dapat mengerti dari apa yang dikatakan sebelumnya bahwa kami tidak dapat menerima perilaku raja Jambi yang merugikan Kompeni itu. Dan bahwa karena itu kami juga tidak bisa mengakui negeri dan warga atau rakyat Jambi sebagai budak atau warga Yang Mulia, karena sebenarnya mereka berada di bawah perlindungan Kompeni, dan Kompeni telah mengeluarkan biaya besar untuk memastikan [otoritas] raja atas wilayahnya dan mengembalikan perdamaian di tanah [Jambi]. Selain itu raja dan penduduk Jambi masih mempunyai hutang yang besar terhadap Kompeni. Di samping itu rakyat Jambi dari zaman dahulu, seperti juga penduduk Palembang, adalah vasal [3] Susuhunan.

Pada saat yang sama kami beritakan kepada Yang Mulia bahwa [Susuhunan] juga telah diterima di bawah perlindungan Kompeni . Demikianlah perkara yang berkaitan dengan Jambi, dan Yang Mulia dimohon untuk merenungkan ini. Kami menganggap perlu untuk menjelaskan hal tersebut panjang lebar, sehingga tidak ada perselisihan yang disebabkan oleh hal tersebut. Para pemberontak dari Banten yang bangkit melawan raja  mereka, sekarang benar-benar telah dikalahkan dan dipaksa dengan senjata Kompeni untuk tunduk di hadapan raja mereka, sehingga di bawah perlindungan Kompeni ketentraman negeri itu sekarang juga sudah dikembalikan lagi, moga-moga Tuhan Allah mengizinkan keadaan itu tetap lestari.

Sebagai hadiah balasan Gubernur-Jenderal dan anggota Dewan Hindia berupaya sebaik mungkin untuk memilih barang-barang menarik yang menurut dugaan kami mungkin akan dapat sangat menyenangkan Yang Mulia, yang terdiri dari:

  • dua buah senapan sundut (flintlock) berlapis emas yang sangat indah dan sangat unik yang khusus dipesan dari Belanda untuk Baginda Raja 
  • dua pasang pistol berlapis emas yang indah dan unik 
  • dua bilah pedang melengkung yang berlapis emas
  • dua bilah pedang lurus yang berlapis emas
  • dua buah karaben indah yang disepuh emas
  • dua buah cermin seberat 1⅓ pon dengan bingkai berlapis emas dan ukiran kayu bercorak 
  • bunga dan buah
  • satu gulung beludru aurora 
  • satu gulung kain satin berenda dengan renda bunga putih dan emas
  • satu kotak terbuat dari kayu eboni yang indah dengan ukiran dan lapisan perak 
  • satu gulung wol emas yang sangat berharga dan berat
  • satu boudaar [6] putih dengan bunga emas yang tertutup
  • satu boudaar merah dengan bunga emas dan bunga berwarna
  • enam burung beo yang sangat indah dengan kepala merah
  • satu botol kecil minyak kayu manis
  • satu botol kecil minyak cengkeh
  • satu botol kecil minyak fuli pala
  • satu botol kecil minyak biji pala

minyak-minyak tersebut sangat diperlukan dan bernilai mahal untuk menjaga kesehatan dan memperkuat tubuh.

-----

[1] Topi kastor: topi wol/vilt hitam yang dibuat dari kulit berang-berang. Kalangan istana Siam mulai memesan topi seperti itu sejak pemerintahan Raja Narai. Tidak jelas pada kesempatan apa topi-topi itu dikenakan.

[2] Kontrak tanggal 20 Agustus 1683 antara Sultan Ingalaga (1679-1687) Corpus Diplomaticum, Jilid 3 (1676-1691),  hlm. 280-282.

[3] Vasal, bangsawan yang ada di bawah perlindungan dan terikat pada Susuhunan.

[4] Rujukan pada kontrak 25-28 Februari 1677 dengan Susuhunan Mataram Amangkurat II, lihat Corpus Diplomaticum, jilid 2 (bagian ketiga, 1676-1691), hlm. 40-41 artikel 2

[5] Sultan Abu Nasr Abdul Kahar atau Sultan Haji (1682-1687).

[6] Boudaar, tidak sama dengan kata boudoir. Mungkin yang dimaksud adalah boutidars, kain yang halus dan sangat mahal dengan hiasan benang emas.