Memorandum of the chiefs of the civilian yacht Den Arent (The Eagle) about the city of Aceh in 1689

DARI: CATATAN HARIAN KASTIL BATAVIA,  2 NOVEMBER 1689 [MULAI FOL. 807.]

Terjemahan 

 

Pada waktu itu tiba di tempat ini kapal swasta jenis jagtie “den Arent” dari Aceh lewat Melakka dan para opsir kepala kapal tersebut menulis kesan-kesan mereka tentang kota Aceh, dan juga tentang pantai serta kegiatan perdagangan seperti di bawah ini.

Catatan para pemimpin di kapal sipil den Arend mengenai kota Aceh seperti yang mereka lihat beserta semua prasarana dan sarananya termasuk pula laut, pantai dan kegiatan perdagangannya:

Kota Aceh dapat dikatakan merupakan sebuah kota yang sangat terbuka karena terletak di tepi sungai dan di sisi daratannya terdapat pegunungan sehingga kekuatan kota tersebut bertumpu pada jumlah penduduknya. Juga tidak terdapat kubu-kubu pertahanan sebab ketika mendekati kota itu dari sungai maka di sebelah kiri hanya nampak deretan tanah yang ditinggikan membentuk semacam pagar, akan tetapi tidak diperkuat dengan tembok penahan atau pun papan. Pada deretan gundukan tanah itu terdapat tiga hingga empat meriam besi berkaliber 1 atau 2 pond yang tidak diletakkan di atas dudukan beroda yang khusus untuk meriam melainkan hanya diletakkan di atas dudukan sederhana yang lazim dibuat orang Melayu.

Bangunan-bangunan yang ada di kota itu merupakan rumah-rumah panggung setinggi 10 hingga 12 kaki dari permukaan tanah; di bagian bawah rumah, para pedagang membangun gudang-gudang mereka yang terbuat dari bambu, yang juga berdiri di atas tiang setinggi dua hingga tiga setengah kaki mengingat pada saat pasang air laut dapat mencapai ketinggian 2 hingga 3 kaki; semua bangunan itu beratapkan daun kelapa kering serta terbuat dari papan dan balok.

Di kota ada jalan lebar yang berawal di tempat masuk kota dan menuju lurus langsung ke istana para raja, yang di depannya terdapat sebuah pasar besar, sementara istana itu sendiri, yang tidak boleh dikunjungi orang-orang asing [folio 808], hanya dapat dilihat dari kejauhan dan nampak sebagai sebuah rumah besar dibangun seperti yang ditulis sebelumnya dan dikelilingi pagar tanah dengan sebuah gerbang besar sebagai pintu masuk yang dilengkapi dengan beberapa pucuk meriam besi; setiap magrib ketika matahari terbenam, dilepaskan tembakan dari meriam besi itu.

Di sekeliling setiap rumah yang dimiliki atau pun disewa oleh para saudagar sebagai hunian atau pun tempat bekerja, dibangun pula pagar bambu yang dilengkapi dengan senjata atau meriam kecil demi berjaga-jaga terhadap orang-orang jahat atu pencuri yang banyak berkeliaran di malam hari; apabila mereka melakukan penggarongan atau aksi kejahatan maka siapa pun bebas menembaki mereka. Oleh karena itu siapa pun yang diijinkan untuk menyimpan senjata di rumahnya dapat dengan bebas menyimpannya di halaman atau di rumahnya demi berjaga-jaga, dan dengan demikian rumah-rumah beserta halaman-halaman itu membentuk kota yang luas dan lebar.

Pada jalan besar yang disebutkan tadi, berdiam pula saudagar-saudagar utama seperti orang-orang Muslim yang berasal dari India, orang Armenia, Persia dan dari berbagai negara lain. Pada jalan yang sudah disebutkan tadi, yang bermula di tempat masuk kota hingga menuju ke istana, yaitu sepanjang sekitar satu mil, ada 2 atau 3 jalan yang memotong; sementara itu ada juga sebuah jalan yang berawal dari pegunungan dan menyusur sungai.                           

Sungai mengalir dari arah Selatan-Tenggara hingga mencapai muara, akan tetapi orang tidak dapat mencapai muara itu karena tepat di muara terdapat sebuah gosong atau busung pasir yang selalu kering. Air sungai mengalir langsung ke arah busung pasir itu, akan tetapi kemudian berbelok ke arah timur akibat hembusan angin barat yang kuat dan juga karena dorongan arus air sehingga terbentuklah busung pasir besar yang disebutkan tadi di depan mulut sungai dan alur air sungai mengalir ke arah timur sejajar dengan pantai; kedalaman alur tersebut sekitar delapan hingga sembilan kaki ketika air pasang dan ketika air surut hanya empat kaki [fol. 809], sebab itu orang harus memanfaatkan air pasang untuk dapat berlayar masuk dan keluar menggunakan kapal-kapal dengan semua layar dikembangkan. Oleh sebab itu, di bulan-bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus, orang harus masuk alur ini dari timur, akan tetapi apabila tidak ada angin selama tiga hingga empat hari dan air sungai menyusut maka segera akan terbentuk sebuah alur lain yang memotong busung pasir itu sedalam tiga hingga empat kaki sehingga orang dapat memanfaatkannya untuk berlayar keluar masuk dengan menggunakan kapal berukuran kecil atau perahu. Akan tetapi apabila angin kembali berhembus maka alur tersebut akan kembali tertimbun sehingga orang harus keluar dan masuk melalui pantai sebelah timur yaitu selama bulan-bulan yang disebutkan di atas ketika angin kembali berhembus dari arah barat, akan tetapi ketika angin berhembus dari arah timur, khususnya di bulan November, Desember, Januari dan Februari, maka akan kembali terbentuk sebuah alur baru di sebelah barat sungai sementara alur-alur yang lain akan kembali tertimbun. Namun, selama bulan-bulan ketika angin berhembus tidak menentu, maka alur akan pecah dan mengalir memotong busung pasir dan orang tidak akan dapat melayarinya dengan menggunakan kapal besar melainkan harus memakai chialoup atau kapal-kapal yang badannya masuk laut sedalam tidak lebih dari delapan kaki.               

Kota ini diperkirakan terletak sekitar setengah mil dari selat laut, dan di lahan antara kota dan laut tidak terdapat apa-apa kecuali rumah jaga dan tempat penarikan uang tol yang terletak di muara sungai di samping gundukan tanah yang, seperti sudah disebutkan tadi, berada di bagian tengah alur pelayaran.

Mengenai kekuatan angkatan lautnya dapat dikatakan bahwa saya tidak melihat kapal-kapal besar, dan hal ini disebabkan karena tak ada Raja di sana sehingga semua perahu dan kapal perangnya juga sudah menjadi lapuk sementara orang kaya atau pun syahbandar selalu melayari sungai dengan memakai sebuah perahu besar dan panjang yang dibuat seperti ghurab[1] yang dilengkapi dengan beberapa pucuk meriam putar dan diikuti oleh sejumlah perahu besar berawak sekitar 200 orang [fol. 810], dan kebanyakan dari mereka membawa senjata berupa senapan panjang Malayu, tombak, pedang bengkok Arab dan lembing sementara di daratan ada lima hingga enam ekor gajah bersama beberapa serdadu yang datang dan bergabung dengan mereka di pantai sesudah berjalan menembus hutan. Selain itu orang mendengar ketibaan kapal atau perahu lain kecuali yang datang ke Aceh untuk berdagang.

Pemerintah mereka terdiri dari empat Orang Kaya dan delapan bawahan yang bersama-sama memerintah kawasan luas itu. Dari empat orang pertama tersebut, selalu ada seorang yang memberi ijin untuk dilakukannya aktivitas perdagangan dan mereka berkumpul dua kali seminggu di istana Ratu, yaitu istana yang seperti sudah dikatakan tadi, tidak boleh dikunjungi orang kecuali apabila membawa hadiah besar untuk Ratu dan mereka diijinkan masuk untuk memberi hormat kepada Ratu, tetapi mereka tidak dapat melihat Ratu karena semua hadiah diterima oleh para orang kasim yang kemudian mempersembahkannya kepada Ratu, termasuk juga semua permohonan yang mungkin mereka inginkan. Para Orang Kaya ini seringkali berada di istana dan mereka mengurus semua hal atas nama ratu sehingga semuanya dikerjakan oleh mereka sementara Ratu hanya berkuasa hanya atas nama beliau.

Akan tetapi agak di pedalaman ada seorang rohaniwan, bawahan Ratu, yang dikatakan memiliki pasukan sebanyak 20.000 orang, dan apabila terjadi perselisihan di antara para Orang Kaya maka persoalan akan diselesaikannya dan semua pihak harus menurut apa yang dikatakannya, akan tetapi yang bersangkutan sendiri tidak menduduki jabatan pemerintah, dan hanya dianggap sebagai pendeta utama atau sebagai salah satu dari orang-orang suci mereka.

Barang-barang utama yang dipersembahkan kepada Ratu adalah beras, kain Guinea serta aneka macam kain berwarna dari pantai Coromandel akan tetapi yang paling banyak adalah kain berwarna biru dan kain-kain tersebut lalu diperdagangkan di beberapa tempat tanah Melayu [fol. 811]. Juga diperdagangkan lada dari Pulau Lada [Penang] dan Queda [Kedah] dan dari tempat-tempat lain, termasuk juga banyak budak.     

Selain itu di tempat tersebut juga diperdagangkan aneka barang yang dibawa kapal-kapal Batavia yaitu dari Cina dan selain benang emas juga ada besi dan gong-gong tembaga, getah Kamboja, akan tetapi tidak dalam jumlah besar, sementara dari Pegu ada beras dalm jumlah besar, gentong-gentong Martaban dan getah Pegu, ikan asin dan dari Bengali juga beras, mentega, semacam kain sutera dan beberapa jenis kain lain yang dibeli oleh mereka yang datang dengan kapal-kapal dari tanah Melayu dan Johor dan kemudian diperdagangkan lagi di tempat-tempat lain. Orang Inggris juga membawa uang Spanyol yang juga dibeli oleh orang-orang Melayu dan dibawa pergi ke tempat-tempat lain.       

Harga-harga di sana bervariasi tergantung jumlah barang yang didatangkan, beras terkadang dijual seharga 30, 30, 50 hingga 60 ringgit sementara kain Guinea terkadang dijual seharga 60, 70, 80, 90 dan bahkan 100 ringgit per corgie [kodi]. Yang paling digemari adalah kain-kain biru yang dapat terjual dengan harga bagus seperti umpamanya sukertons [kain Koromandel] sebanyak lima kain yang setiap kodi dijual seharga 50, 60, 70, 80, 90 ringgit, tahun ini setiap kodi dijual 25 ringgit lebih mahal dari lazimnya. Kain-kain Melayu dan Jawa [batik] yang berwarna dan bermotif terjual dengan harga seperti di Batavia, dengan demikian harga Batavia hampir sama dengan harga Aceh. Sementara para budak laki-laki dijual seharga 50, 60, hingga 65 ringgit dan para budak perempuan dijual 10 hingga 15 ringgit lebih mahal, juga karena mereka lebih dewasa dan lebih besar. Lada berharga 20, 22, 23, 24 hingga 25 ringgit setiap bahar atau 3 pikul. Barang-barang dari Cina seperti mangkuk tembaga dijual per pikul seharga 40, 45, 50 hingga 60 ringgit [fol. 812]. Benang emas dari Kanton atau Makau dijual 30, 36 hingga 40 ringgit setiap peti akan tetapi apabila mereka didatangkan dalam jumlah besar maka susah untuk menualnya hngga habis. Simpai dan baut serta barang hiasan kecil-kecil dari besi dijual seharga tujuh hingga delapan ringgit setiap pikul sementara besi batangan dijual 10 hingga 11 ringgit. Getah perca Kamboja dijual seharga 40, 45, 50 hingga 55 ringgit setiap pikul kendati banyak atau sedikit jumlah yang ditawarkan. Getah perca dari Pegu ditawarkan seharga 30, 35, 40 hingga 42 ringgit, sementara kain sejenis sutera [‘armesijnen’] terkadang dijual seharga 90, 95 hingga 100 ringgit per kodi, bahkan seharga 120 ringgit apabila tidak dalam jumlah besar, dan mentega Bengali dijual seharga 20, 18, 16 ringgit per poci, sementara saya tidak tahu tentang harga kain-kain lain dan barang-barang asal Cina, begitu pula saya tidak mengetahui harga allegoedong[2] atau kain katun.

Kecuali lada yang sudah disebutkan tadi, barang yang terutama diperdagangkan adalah emas, yang dibeli sebanyak mungkin oleh orang-orang Inggeris sementara mereka yang tiba di Aceh dengan kapal-kapal Melayu dan Johor serta kapal-kapal jenis lain membeli kain-kain yang didatangkan dari luar kawasan. Emas selalu dapat diperoleh dalam jumlah berapa pun. Harganya naik turun, seperti bonkaal Aceh 118 atau 119 condrin yang bernilai 20, 21, 22, 23 hingga 24 ringgit dan terkadang ada selisih 10 hingga 12 dan 16 persen. Mata uang yang berlaku di sini adalah uang logam yaitu yang ditempa dengan nama Ratu yang ditulis dengan aksara Arab yaitu aksara yang dipergunakan untuk melakukan semua kegiatan perdagangan di sana; untuk mencegah agar uang tersebut tidak diangkut keluar, maka uangitu dipalsukan dan sebab itu tidak ada uang dari emas yang baik yang beredar di sana [fol. 813] sehingga nilainya seperempat ringgit. Adalah uang Spanyol di sana pada dasaranya uang yang tidak laku yaitu yang dibawa oleh orang-orang  Inggris, dan dibeli lagi oleh orang-orang Melayu untuk di bawa ke tempat lain.

Lazimnya, angin di sini bertiup dari arah Barat Daya ke Barat Laut antara bulan April dan Oktober, sementara angin barat bertiup paling keras dari bulan Mei hingga Juni, dan terkadang juga angin laut dan angin darat. Akan tetapi di bulan September, Oktober dan November turun banyak hujan dan angin timur mulai kembali bertiup.

Baik bagian luar maupun bagian dalam dari kedua sudut teluk Aetchin terletak di ujung timur dan ujung barat, sementara dermaga Aceh terletak di tengahnya, membentuk semacam teluk yang lebarnya tiga-per-empat mil, dan merupakan tempat baik untuk membuang sauh karena terlindungi dari angin yang bertiup dari barat, barat daya, selatan dan tenggara, namun dermaga itu terbuka terhadap angin yang bertiup dari barat laut hingga timur laut. Di antara kedua sudut yang disebutkan tadi tidak terdapat sungai melainkan hanya sebuah kali kecil yang bermuara di bagian atas kota, yaitu di sudut kota di mana dahulu terdapat loji Belanda. Kali tersebut hanya dipergunakan untuk keluar masuk kapal-kapal nelayan.

Di sebelah timur laut dermaga, sekitar dua hingga dua setengah mil dari kota terdapat sebuah karang dari batu-batu yang memanjang dari timur ke barat di tengah jalur perairan antara tepi pantai dan Poulo Way, berukuran tidak lebih dari pulau Hoorn dan kapal-kapal dapat berlayar mengelilinginya dari dalam maupun dari luar, tetapi yang paling baik adalah berlayar dari dalam [fol. 814] dan dengan mengukur kedalamannya memakai batu duga yang diikatkan pada tali maka didapati bahwa kedalaman di tempat itu adalah enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh hingga 12 depa dari permukaan laut, akan tetapi kita tidak boleh menjauh dari tepi pantai hingga melebihi 12 depa karena apabila membuang sauh di malam hari di perairan dengan kedalaman lebih dari 12 depa kita dapat terdampar pada karang yang di tempat itu sangat curam.

Akan tetapi kita tidak perlu kuatir di siang hari karena batu karang selalu berada di atas permukaan laut dan di tepi pantai terdapat tempat membuang sauh yang bagus berukuran enam, delapan dan sembilan depa hingga setengah mil dari tepi pantai. Di luar atau di utara karang tersebut laut memiliki kedalaman 20, 40, 60 dan 80 depa. Oleh karena arus laut selama bulan-bulan yang disebutkan tadi mengalir deras ke arah timur laut, maka ketika tidak ada angin bertiup jangkar dapat dengan mudah lepas dari dasar laut sehingga kapal bisa lepas terhanyut sehingga menyusahkan karena harus berlayar balik. Apabila kita datang dari Malaka atau dari selatan dan sudah melewati titik Berlian [‘De Diamant’], maka kita harus menjaga supaya kapal kita tetap dekat dengan pantai agar dapat masuk dengan memanfaatkan angin darat sebab di tempat ini sudah bertiup angin barat, dan pantainya murni bersih dan kita diperbolehkan untuk mendekati perairan dengan kedalaman 12 hingga 14 depa hingga jarak satu tembakan meriam, sementara setengah mil lebih dari pantai tidak ada lagi dasar laut untuk membuang sauh.

Dari titik Berlian hingga ke sudut Aceh terdapat sejumlah kali dan sungai. Jalan di tempat ini 20 mil lebih panjang dari yang disebutkan dalam peta. Bila datang dari pantai luar maka ada dua tempat untuk masuk, yang satu melalui pulau-pulau di perairan yang disebut ‘selat Suratte’, yang merupakan sebuah pintu air kecil tetapi di tengah perairan terdapat dua batu karang tempat orang dapat melihat empasan air laut. Sementara pintu air yang satu lagi terletak di timur pulau, dan lebar serta tidak ada penghalangnya, tetapi selama bulan-bulan tersebut jangan berlabuh di dermaga karena angin barat bertiup cukup kencang. Apabila hendak membuang sauh di dermaga Aceh maka di sebelah barat dari busung pasir [folio 815] kita dapat membuang sauh di perairan dengan kedalaman enam hingga tujuh depa, sepanjang jarak satu tembakan meriam dari pantai.        

Terkait bangsa apa yang paling mereka hormati, menurut kata mereka sendiri, mereka sangat menyenangi bangsa Belanda seraya bertanya mengapa bangsa Belanda tidak lebih sering datang ke kota mereka untuk              berdagang. Syahbandar juga berkata kepada saya bahwa negaranya terbuka bagi semua pedagang, akan tetapi oleh karena bangsa Inggris mengatakan kepada mereka bahwa apabila Kompeni datang ke sana untuk berdagang dan menjejakkan kaki ke tanah mereka, maka bangsa Belanda akan menjadi juragan mereka dan sebab itu mereka agak takut terhadap Kompeni, tetapi hal demikian saya tidak nampak karena dari cara mereka menyambut saya sepertinya mereka lebih menyenangi orang Belanda ketimbang orang Inggris, tetapi yang sangat mereka senangi adalah bangsa Arab-India Muslim yang datang untuk berdagang.       

Bangsa Inggris datang dengan menggunakan kapal-kapal kecil sebesar 80, 90, 100 hingga 150 lasten[3], namun kebanyakan kapal-kapal itu dibuat di Asia dan disesuaikan dengan gaya serta keperluan bangsa Eropa. Orang-orang Arab-India Muslim juga datang dengan menggunakan kapal berukuran 100, 150 hingga 170 lasten, sementara dari kota Kedah datang kapal-kapal jenis ghurap besar, gonting dan dari sejumlah pelabuhan Melayu juga tiba kapal-kapaljenis ghurap, wankan, gonting dan kapal-kapal jenis lain yang dapat berlayar langsung masuk sungai dan melakukan kegiatan perdagangan di tepi sungai.

 

Catatan para kepala opsir di Kapal Arend tentang apa yang terjadi di dermaga Aetchin, sebagai berikut.

Tiba pada tanggal 1 Juni [1689] dan mendapati empat kapal Inggris dan 4 kapal orang Moor sudah berlabuh di dermaga; 2 dari kapal Inggris itu datang dari Pegu dengan muatan beras, gentong Martaban, getah perca dan beberapa batu-batuan permata Pegu, dan dua kapal lagi datang dari Madras dengan muatan beberapa budak, beras dan beberapa [folio 816] pak kain berwarna biru dan algodón [katun]. Dua kapal Moor bermuatan beras, gentong-gentong besar, getah perca dan beberapa batu-batuan Pegu sementara yang 2 lagi berasal dari Kedah memuat beras, dan ada 2 kapal jenis chialoup yang datang dari Tanasserim yang satu dengan penumpang seorang bangsa Inggris yaitu yang orang Inggris yang sudah diperintahkan meninggalkan negeri itu oleh para residen setempat, dan yang lain seorang Belanda bernama Joost de Jong. Muatan kapal itu  beras dan sejumlah ikan asin.

Pada tanggal 20 bulan ini tiba di sini sebuah kapal Inggris berbobot 80 lasten dari Madras bermuatan beras dan budak-budak dan sejumlah bungkusan algodón dan kain. Pada tanggal tersebut tiba 2 kapal Cina jenis chialoup dan 2 kapal jenis junk Cina berasal dari Batavia bermuatan beras serta sejumlah barang-barang kecil lain.

Pada tanggal 22 bulan yang sama tiba di sini sebuah kapal Inggris berbobot 90 lasten yang berasal dari Madras, bermuatan beberapa budak serta 14 hingga 16 bungkus busana, dan di kapal tersebut terdapat dua orang Belanda, yang seorang adalah nakhoda kapal dan yang lain lagi seorang mualim dan dari sana mereka akan berangkat ke Pegu untuk melakukan pekerjaan perbaikan kapalnya dan sesudah itu mereka akan menuju ke pantai Coromandel. Di tempat ini setiap hari tiba kapal-kapal yang berasil dari sejumlah tempat di sekitar yaitu dari Pedri (Pidi), Deli dan Peda dan dari sejumlah tempat kecil lainnya, semuanya bermuatan beras dan padi.

Pada tanggal 24 tiba di sini kapal Inggris yang berasal dari Tranquebar, kapalnya memuat beras dan budak-budak, begitu juga tiba dua kapal Cina dari Batavia yang bermuatan beras dan beberapa barang pernak pernik lain.   

Tanggal 30 tiba di sini sebuah kapal Inggris berasal dari Madras tetapi masih di hari itu juga kapal berlayar pergi menuju Cina, sementara dilaporkan bahwa di sana sudah ada 5 kapal yang menuju ke Cina dan dua lagi dari Madras akan menyusul. [folio 817].  

Tanggal 4 Juli tiba di sini sebuah kapal Inggris yang berasal dari Madras, berbobot sekitar 70 lasten bermuatan beberapa budak, beberapa busana dan algodón , dan beberapa poci mentega.

Tanggal 19 tiba di sini sebuah kapal Denmark berbobot sektiar 90 lasten berasal dari Tranquebar bermuatan beras beserta beberapa saudagar Moor yang membawa beberapa busana dan budak.

Pada tanggal 25 tiba di sini sebuah kapal Inggris berbobot sekitar 70 lasten berasal dari madras dan Portonovo bermuatan beras dan budak-budak.

Tanggal 30 tiba di sini sebuah kapal Moor (India Islam) berasal dari Maldivo bermuatan sejumlah ikan asin.

Tanggal 5 Agustus tiba disini sebuah kapal Inggris berbobot 70 lasten bermuatan beras dan budak-budak.

Tanggal 10 berangkat dari sini sebuah kapal Inggris dengan dua orang Belanda menuju Pegu.

Tanggal 24 saya sudah siap untuk pergi ke Batavia. Juga terdapat lima kapal Inggris yang siap berangkat, yaitu tiga ke pantai Coromandel dan dua ke Pegu.

 

Barang dagangan yang dapat dibawa ke Aceh

Beras, tetapi beras di sana ada bermacam-macam jenis sesuai macam-macam jenis tanaman setempat, dan juga sudah banyak beras yang didatangkan baik dari Kedah atau Deli dengan kapal-kapal kecil dan besar setempat dari pantai Coromandel, Pegu dan Tanasserim dan sebab itu pada waktu-waktu tertentu beras menjadi lebih mahal dan pada waktu-waktu lain harganya bisa separuhnya. Bulan Desember dan Januari merupakan waktu terbaik untuk beli beras dan juga untuk beli kain dan barang-barang lain karena waktu itu kebanyakan kapal berangkat sementara penduduk kawasan pegunungan juga datang untuk membeli barang keperluan mereka. Selain itu dapat ditawarkan pula mentega dan kain semacam sutera berwarna merah karena tidak ada kapal Inggris, Moor dan Bengali yang masuk ke Aceh. Dan oleh karena [folio 818] hanya sedikit kain biru yang didatangkan maka barang itu dapat dijual dengan harga pantas, begitu pula beberapa botol air mawar untuk orang-orang Moor karena kapal-kapal dari Suratte tidak berlayar. 

Di malam hari tiba kapal Kompeni jenis pacalang dari Bantam, “de Steenbrasem”, membawa surat resmi dari penguasa Louys de Keyser dan Dewan Politik, tertanggal satu bulan ini, berisi antara lain bahwa Sultan di sana (Banten) telah mengutus empat lurah kepala yang paling dipercayai bersama pembantu-pembantu mereka ke Silebar atau Bengkulu dengan menggunakan kapal “Grijpvogel”, dan kami juga menempatkan seorang serdadu Eropa yang bertugas menjadi penerjemah dan membantu hal-hal lain.



[1] Ghurap: kapa sejenis sekoci yang berasal dari daera Teluk Persia.

[2] Algodón (Span.): katun.

[3] Last: ukuran berat kapal; satu last seberat 2.000 kg. Kapal berbobot 70 lasten dapat mengangkut muatan seberat 140 ton.